Jumat, 05 April 2013

Pro Kontra Kewenangan Pengadilan Kasus LP Cebongan

Misteri penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman akhirnya mulai terkuak. Tim investigasi TNI telah mengumumkan temuan mereka tentang pelaku penyerangan yang terjadi pada 23 Maret 2013 itu. Pelakunya adalah 11 oknum dari satuan Korps Pasukan Khusus (Kopassus).
"Pelaku adalah sebelas oknum berasal dari Grup 2 Kopassus Kartasura, terdiri atas satu eksekutor dengan inisial U, delapan orang pendukung yang gunakan dua unit Avanza biru dan APV Hitam. Ada juga dua orang menggunakan Feroza yang berusaha cegah tindakan rekan-rekan tersebut, namun tidak berhasil," papar Wakil Komandan Puspom TNI AD Brigjen TNI Unggul T Yudhoyono di Jakarta, Kamis (4/4).
Berdasarkan investigasi tim TNI, motif penyerangan yang mengakibatkan tewasnya empat orang tahanan itu adalah solidaritas korps dan dalam rangka membela kehormatan satuan. Tindakan 11 oknum Kopassus itu diduga terkait dengan wafatnya Heru Santoso (31), anggota Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, di Hugo's Cafe Maguwoharjo pada 19 Maret 2013.
Dikatakan Unggul, Heru Santoso adalah atasan dari pelaku penyerangan. Tidak sekadar atasan, Heru juga diketahui pernah berjasa menyelamatkan pelaku penyerangan dalam sebuah tugas operasi Kopassus.
Setelah teka-teki pelaku penyerangan terjawab, kini muncul perdebatan seputar kewenangan pengadilan atas kasus ini. Pihak TNI telah menegaskan bahwa 11 pelaku penyerangan akan disidang di pengadilan militer. Namun, keputusan ini ditentang oleh kalangan LSM.
Koordinator Kontras, Harris Azhar berpendapat proses peradilan terhadap pelaku penyerangan LP Cebongan seharusnya di pengadilan umum. Alasannya, menurut Harris, tindakan para penyerang LP Cebongan adalah kejahatan umum. “Kan peradilan itu berbasis pada tindakan bukan pada orang,” ujar Harris kepada hukumonline via telepon, Kamis malam (4/4).
Pernyataan Harris senada dengan siaran pers sejumlah LSM, termasuk juga Kontras, pada 24 Maret 2013. Intinya, mereka mendesak agar oknum TNI yang menjadi pelaku penyerangan diadili berdasarkan mekanisme peradilan umum. Menurut Kontras dkk, sebagai perwujudan asas equality before the law, maka anggota TNI harus diperlakukan sama dengan warga negara pada umumnya.
“Selain itu, khusus terkait dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota TNI di masa reformasi ini, kami mendesak pemerintah dan parlemen untuk segera melakukan agenda reformasi peradilan militer dengan cara melakukan revisi UU No 31 Tahun 1997,” tulis Kontras dkk dalam siaran pers.
Dalam acara Munas Ikatan Advokat Indonesia di Surabaya, Jumat (5/4),  Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan berdasarkan undang-undang yang berlaku, oknum TNI pelaku penyerangan LP Cebongan akan diadili pengadilan militer. Amir berpesan agar proses peradilan terhadap 11 pelaku penyerangan itu dilakukan secara transparan.
"Tentu, peradilan militer perlu transparan agar masalahnya tidak bergulir terus menerus akibat kecurigaan yang berkembang kemana-mana," kata Amir.
Selama ini, lanjut dia, peradilan militer sebenarnya sudah transparan. Hanya saja, kesan yang muncul justru sebaliknya karena kurangnya publikasi. "Kalau terkesan tertutup, saya kira hanya kurang ekspos saja, kalau publikasi ada, tentu kesan itu tidak ada,” imbuhnya.
Sementara itu, pengajar hukum pidana FHUI, Eva Zulfa berpendapat kasus penyerangan LP Cebongan bisa aja diadili berdasarkan mekanisme peradilan koneksitas. Syaratnya, kata dia, pelaku penyerangan juga melibatkan unsur sipil. “Jika melibatkan sipil dan militer maka dapat masuk ke dalam peradilan koneksitas,” ujarnya.
Merujuk pada Pasal 89 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diatur bahwa “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Selanjutnya, mengutip rumusan Pasal 90 ayat (1), Eva mengatakan untuk menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili kasus tersebut, maka jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi melakukan penelitian bersama.
Meskipun kemungkinan peradilan koneksitas itu ada, sayangnya, pihak Kepolisian sudah melansir pernyataan bahwa pelaku penyerangan LP Cebongan tidak unsur sipil. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya belum menemukan adanya keterkaitan warga sipil. Polri, kata dia, siap menindaklanjuti jika nantinya berdasarkan hasil penyelidikan tim TNI ditemukan keterlibatan sipil

0 komentar:

Posting Komentar