Misteri penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman
akhirnya mulai terkuak. Tim investigasi TNI telah mengumumkan temuan
mereka tentang pelaku penyerangan yang terjadi pada 23 Maret 2013 itu.
Pelakunya adalah 11 oknum dari satuan Korps Pasukan Khusus (Kopassus).
"Pelaku adalah sebelas oknum berasal dari Grup 2 Kopassus Kartasura,
terdiri atas satu eksekutor dengan inisial U, delapan orang pendukung
yang gunakan dua unit Avanza biru dan APV Hitam. Ada juga dua orang
menggunakan Feroza yang berusaha cegah tindakan rekan-rekan tersebut,
namun tidak berhasil," papar Wakil Komandan Puspom TNI AD Brigjen TNI
Unggul T Yudhoyono di Jakarta, Kamis (4/4).
Berdasarkan investigasi tim TNI, motif penyerangan yang mengakibatkan
tewasnya empat orang tahanan itu adalah solidaritas korps dan dalam
rangka membela kehormatan satuan. Tindakan 11 oknum Kopassus itu diduga
terkait dengan wafatnya Heru Santoso (31), anggota Kopassus Kandang
Menjangan, Kartasura, di Hugo's Cafe Maguwoharjo pada 19 Maret 2013.
Dikatakan Unggul, Heru Santoso adalah atasan dari pelaku penyerangan.
Tidak sekadar atasan, Heru juga diketahui pernah berjasa menyelamatkan
pelaku penyerangan dalam sebuah tugas operasi Kopassus.
Setelah teka-teki pelaku penyerangan terjawab, kini muncul perdebatan
seputar kewenangan pengadilan atas kasus ini. Pihak TNI telah menegaskan
bahwa 11 pelaku penyerangan akan disidang di pengadilan militer. Namun,
keputusan ini ditentang oleh kalangan LSM.
Koordinator Kontras, Harris Azhar berpendapat proses peradilan terhadap
pelaku penyerangan LP Cebongan seharusnya di pengadilan umum.
Alasannya, menurut Harris, tindakan para penyerang LP Cebongan adalah
kejahatan umum. “Kan peradilan itu berbasis pada tindakan bukan pada
orang,” ujar Harris kepada hukumonline via telepon, Kamis malam (4/4).
Pernyataan Harris senada dengan siaran pers sejumlah LSM, termasuk juga
Kontras, pada 24 Maret 2013. Intinya, mereka mendesak agar oknum TNI
yang menjadi pelaku penyerangan diadili berdasarkan mekanisme peradilan
umum. Menurut Kontras dkk, sebagai perwujudan asas equality before the law, maka anggota TNI harus diperlakukan sama dengan warga negara pada umumnya.
“Selain itu, khusus terkait dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh anggota TNI di masa reformasi ini, kami
mendesak pemerintah dan parlemen untuk segera melakukan agenda reformasi
peradilan militer dengan cara melakukan revisi UU No 31 Tahun 1997,”
tulis Kontras dkk dalam siaran pers.
Dalam acara Munas Ikatan Advokat Indonesia di Surabaya, Jumat (5/4),
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengatakan berdasarkan
undang-undang yang berlaku, oknum TNI pelaku penyerangan LP Cebongan
akan diadili pengadilan militer. Amir berpesan agar proses peradilan
terhadap 11 pelaku penyerangan itu dilakukan secara transparan.
"Tentu, peradilan militer perlu transparan agar masalahnya tidak
bergulir terus menerus akibat kecurigaan yang berkembang kemana-mana,"
kata Amir.
Selama ini, lanjut dia, peradilan militer sebenarnya sudah transparan.
Hanya saja, kesan yang muncul justru sebaliknya karena kurangnya
publikasi. "Kalau terkesan tertutup, saya kira hanya kurang ekspos saja,
kalau publikasi ada, tentu kesan itu tidak ada,” imbuhnya.
Sementara itu, pengajar hukum pidana FHUI, Eva Zulfa berpendapat kasus
penyerangan LP Cebongan bisa aja diadili berdasarkan mekanisme peradilan
koneksitas. Syaratnya, kata dia, pelaku penyerangan juga melibatkan
unsur sipil. “Jika melibatkan sipil dan militer maka dapat masuk ke
dalam peradilan koneksitas,” ujarnya.
Merujuk pada Pasal 89 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, diatur bahwa “Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
Selanjutnya, mengutip rumusan Pasal 90 ayat (1), Eva mengatakan untuk
menentukan peradilan mana yang berwenang mengadili kasus tersebut, maka
jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi
melakukan penelitian bersama.
Meskipun kemungkinan peradilan koneksitas itu ada, sayangnya, pihak
Kepolisian sudah melansir pernyataan bahwa pelaku penyerangan LP
Cebongan tidak unsur sipil. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes
Polri Boy Rafli Amar mengatakan pihaknya belum menemukan adanya
keterkaitan warga sipil. Polri, kata dia, siap menindaklanjuti jika
nantinya berdasarkan hasil penyelidikan tim TNI ditemukan keterlibatan
sipil
0 komentar:
Posting Komentar