Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menuntut
Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) untuk merevisi UU Peradilan Militer.
Tujuannya agar aparat militer yang melakukan tindak pidana umum dapat
langsung diseret ke peradilan umum, bukan peradilan militer.
Anggota Koalisi dari Imparsial, Poengky Indarti menilai selama ini
untuk membawa kasus kejahatan yang melibatkan pihak TNI ke pengadilan
umum sangat sulit. Pasalnya, UU Peradilan Militer kerap dijadikan dalil
untuk memproses pelaku kejahatan dari unsur militer tetap diadili di
peradilan militer.
Untuk tujuan jangka pendek, Poengky berharap Perppu ini dapat segera
diterapkan dalam kasus penyerangan lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta.
Tidak hanya berhenti di tingkat investigasi yang dilakukan oleh tim
bentukan TNI. Atau kasus lain seperti penyerbuan dan pembakaran kantor
Polres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan yang dilakukan anggota TNI
beberapa waktu lalu.
Sedangkan untuk jangka panjang, Poengky berharap semua kasus
pelanggaran pidana umum oleh aparat militer dapat disidangkan di
pengadilan umum yang ia nilai lebih terbuka dan transparan ketimbang
peradilan militer.
Peradilan militer, Poengky melanjutkan, acapkali menjadi sarang
impunitas bagi anggota TNI yang melakukan kejahatan. Setelah melewati
proses peradilan militer, biasanya para pelaku dijatuhi hukuman ringan,
tak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Akibatnya, tak menghasilkan
efek jera bagi pelaku, sehingga peristiwa kejahatan serupa terus
berulang.
“UU Peradilan militer selalu menjadi dalih untuk mengadili pelaku ke
peradilan militer. Kami mendesak Presiden menerbitkan Perppu,” kata dia
dalam jumpa pers di kantor KontraS Jakarta, Jumat (5/4).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Badan Pengurus Setara Institut,
Hendardi, mengatakan Koalisi terkejut karena tim investigasi TNI dalam
waktu singkat sudah mempublikasikan temuannya. Menurutnya, hal itu
sangat jarang dilakukan TNI. Apalagi Presiden SBY dinilai minim merespon
kasus penyerangan lapas Cebongan itu.
“Jika pelaku dibawa ke peradilan militer, itu tidak menunjukan
keberpihakan pada rasa keadilan publik, tidak menegakan asas kesamaan di
mata hukum,” tegas Hendardi.
Selain itu Hendardi mengkritik laporan hasil investigasi tim bentukan
KSAD Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo tersebut, di mana terdapat
pernyataan yang menyebut penyerangan itu secara ksatria dilakukan oknum
TNI AD. Bahkan, empat korban yang tewas akibat serangan itu disebut
tahanan preman.
Menurut Hendardi, pernyataan itu sebagai upaya untuk menggeser
persoalan yang sebenarnya. Hendardi menegaskan, sekalipun yang diserang
adalah preman, tapi hal itu bukan wewenang TNI, tapi Polri. Pasalnya,
preman berkaitan dengan keamanan masyarakat yang menjadi tanggungjawab
Polri sebagai aparat penegak hukum. “Preman memang harus diberantas,
tapi yang melakukan bukan TNI, tapi Polisi,” tuturnya.
Sementara anggota koalisi dari Kelompok Lintas Hukum, Khairul Imam,
mengingatkan bahwa Perppu posisinya lebih rendah dari UU, sehingga tidak
bisa menganulir beberapa pasal dalam UU. Namun, dalam dalam rangka
mengadili para pelaku kasus penyerangan Lapas Cebongan secara adil dan
terbuka, Khairul mengatakan Presiden SBY bisa menerbitkan Perppu yang
lebih fokus. Yaitu menyatakan para hakim, jaksa dan panitera di
peradilan militer yang digunakan untuk mengadili pelaku berasal dari
sipil serta diberi pangkat tituler.
Mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung itu melihat hal tersebut
pernah dilakukan sebelum tahun 1970-an dimana panitera diberi pangkat
tituler kapten, jaksa berpangkat mayor dan hakim letkol. Selama memegang
pangkat tituler itu maka melekat hak dan kewajiban yang sama seperti
militer. “Tapi mereka tetap orang sipil,” ujarnya.
Sementara pendiri Institut Kebajikan Publik, Usman Hamid, meragukan
hasil investigasi yang dilakukan tim TNI itu memenuhi syarat ideal
sebagaimana aturan yang berlaku. Pasalnya, investigasi itu hanya
mengandalkan pengakuan dari prajurit TNI yang diduga terlibat dalam
penyerangan. Padahal, dibutuhkan barang bukti lainnya untuk memperkuat
pengungkapan kasus tersebut. Seperti bukti forensik dan saksi. Kemudian,
mengacu garis komando yang berlaku di kalangan militer, Usman
menegaskan harusnya petinggi TNI memerintahkan kasus itu diselesaikan
lewat peradilan umum.
Usman mengatakan untuk mengadili kasus tersebut apakah lewat peradilan
militer atau umum dapat mengacu pasal 90 KUHAP. Yaitu melakukan
penelitian bersama oleh jaksa tinggi dan auditor militer tinggi atau
dapat pula hasil penyelidikan yang sudah dilakukan itu diserahkan. Hasil
penyerahan itu kemudian dianalisis lagi oleh jaksa agung atau auditor
jenderal. Lalu ditentukan kemana perkara itu akan diadili, peradilan
militer atau umum.
Selaras dengan itu, Usman mengingatkan peraturan lainnya juga
menegaskan bahwa kasus semacam penyerangan ke lapas Cebongan harus
dibawa ke peradilan umum. Misalnya dalam UU Peradilan Militer, UU TNI
dan Tap MPR tentang TNI/Polri. “Sudah secara eksplisit menjelaskan,
setiap prajurit yang melakukan pelanggaran hukum pidana umum dibawa ke
pengadilan umum,” tukasnya.
Alternatif
Alternatif lain untuk membawa kasus tersebut ke peradilan umum menurut Usman dapat menggunakan Perppu atau peradilan militer yang anggotanya terdiri dari sipil. Bermacam hal itu sesuai dengan standar internasional yang dibuat pelapor khusus PBB untuk peradilan militer. Masih mengacu hukum internasional, terkait prinsip ksatria militer Usman mengartikan ketika berperang seorang militer tidak boleh menembak orang yang tak bersenjata atau bukan anggota militer.
Alternatif lain untuk membawa kasus tersebut ke peradilan umum menurut Usman dapat menggunakan Perppu atau peradilan militer yang anggotanya terdiri dari sipil. Bermacam hal itu sesuai dengan standar internasional yang dibuat pelapor khusus PBB untuk peradilan militer. Masih mengacu hukum internasional, terkait prinsip ksatria militer Usman mengartikan ketika berperang seorang militer tidak boleh menembak orang yang tak bersenjata atau bukan anggota militer.
Berdasarkan hal itu, Usman menekankan penyerangan yang dilakukan ke
lapas Cebongan tak layak dikategorikan tindakan ksatria karena korban
bukan pasukan militer, tak bersenjata dan tahanan. Bahkan Usman
menggolongkan penyerangan itu sebagai pelanggaran HAM berat yaitu extra judicial killing. Selaras dengan itu, maka Komnas HAM berwenang membentuk tim ad hoc penyelidik pelanggaran HAM.
Usman mengatakan, digelarnya kasus kejahatan yang dilakukan anggota TNI
ke peradilan umum juga dijelaskan dalam perjanjian kerjasama militer
antara Indonesia dan Amerika Serikat. Menurutnya, ada tiga poin penting
dari kesepakatan itu. Pertama, jika ada anggota Kopassus terlibat dalam
tindak kejahatan maka diberhentikan. Kedua, kalau anggota TNI melakukan
tindak pidana umum maka dibawa ke pengadilan umum. Ketiga, bekerjasama
dengan institusi peradilan sipil seperti Komnas HAM dan Polri.
Tak ketinggalan Usman menjelaskan jika mengacu garis komando, ada tiga
pihak yang wajib disentuh. Yaitu komandan kandang Menjangan, Pangdam dan
Kapolda Yogyakarta. Demi terlaksananya penyelidikan yang lebih objektif
dan memenuhi syarat-syarat keadilan, ketiga pihak itu perlu
dibebastugaskan.
0 komentar:
Posting Komentar