This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 18 April 2013

Hak-Hak Asasi Manusia yang Tercantum didalam Hukum Positif

I.              HAM dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

            Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemen. Tapi, bukan berarti sebelum itu UUD 1945 tidak memuat masalah HAM. Hak asasi yang diatur saat itu antara lain hak tentang merdeka disebut pada bagian pembukaan, alinea kesatu. Kemudian, hak berserikat diatur dalam pasal 28, hak memeluk agama pada pasal 29, hak membela negara pada pasal 30, dan hak mendapat pendidikan, terdapat pada pasal 31.
            Dalam UUD 1945 yang diamandemen, HAM secara khusus diatur dalam Bab XA, mulai pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.

-          Pasal 28 A : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
-          Pasal 28 B : (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
-          Pasal 28 C : (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
-          Pasal 28 D : (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
-          Pasal 28 E :(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hendak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuruninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
-          Pasal 28F: Setiap  orang  berhak  untuk  berkomunikasi  dan  memperoleh informasi untuk  mengembangkan  pribadi  dan  lingkungan  sosialnya,  serta  berhak  untuk mencari,  memperoleh,  memiliki,  menyimpan,  mengolah,  dan  menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **)
-          Pasal 28  (1) : Setiap  orang  berhak atas perlindungan  diri pribadi,  keluarga,  kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah  kekuasaannya,  serta berhak atas rasa aman  dan  perlindungan  dari  ancaman ketakutan  untuk  berbuat  atau tidak berbuat sesuatu yang  merupakan hak asasi. **)
(2)  Setiap  orang  berhak  untuk  bebas  dari  penyiksaan  dan  perlakuan  yang merendahkan  derajat  martabat  manusia  dan  berhak   memperoleh  suaka politik dari negara lain. **)
-          Pasal 28H:
(1)   Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, danmedapatkan  lingkungan  hidup  baik  dan  sehat  serta  berhak  memperoleh pelayanan kesehatan. **)
(2)   Setiap  orang  mendapat  kemudahan  dan  perlakuan  khusus  untukmemperoleh  kesempatan  dan  manfaat  yang  sama  guna  mencapai persamaan dan keadilan. **)
(3)   Setiap  orang  berhak  atas  jaminan  sosial  yang  memungkinkanpengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)
(4)   Setiap  orang  berhak mempunyai  hak milik  pribadi  dan  hak milik  tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang­wenang oleh siapa pun. *)
-          Pasal 28I
(1)   Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,  hak  beragama,  hak  untuk  tidak  diperbudak,  hak  untuk  diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk  tidak dituntut atas dasar hukum  yang  berlaku  surut  adalah  hak  asasi  manusia   yang  tidak  dapat dikurangi dalam keadaan  apa pun. **)
(2)   Setiap  orang  berhak bebas atas  perlakuan  yang bersifat  diskriminatif  atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan  perlindungan  terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. **)
(3)   Identitas budaya dan hak masyarakat  tradisional dihormati  selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)
(4)   Perlindungan,  pemajuan,  penegakan,  dan  pemenuhan  hak  asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama  pemerintah. **)
(5)   Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai  dengan prinsip negara  hukum  yang  demokratis,  maka  pelaksanaan  hak  asasi  manusia dijamin,  diatur,  dan  dituangkan  dalam  peraturan   perundangan­undangan. **)

-          Pasal 28J
(1)   Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang  lain  dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara. **)
(2)   Dalam  menjalankan  hak  dan  kebebasannya,  setiap  orang  wajib  tunduk kepada  pembatasan  yang  ditetapkan  dengan  undang­-undang   dengan maksud semata mata untuk menjamin pengakuan serta  penghormatan atas hak  kebebasan orang  lain dan untuk memenuhi   tuntutan  yang adil  sesuai dengan  pertimbangan moral,  nilai nilai  agama,   keamanan,  dan  ketertiban umum dalam suatu masyarakat  demokratis. **)

-          Pasal 29
(1)   Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa.
(2)   Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.
 
-          Pasal 30 (1) :Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
-          Pasal 31
(1)   Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)   Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
-          Pasal 34
(1)   Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2)   Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3)   Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.






II.                HAM dalam Peraturan Perundang-Undangan

1.      UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
-          Pasal 3 :
(1)   Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup berrnasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
(2)   Setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
(3)   Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
-          Pasal 4 : Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun..
-          Pasal 9 :
(1)   Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2)   Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3)   Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
-          Pasal 10 :
(1)   Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2)   Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon 238 suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
 
 
-          Pasal 11 : Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.
-          Pasal 17 : Setiap orang. tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
-          Pasal 20 :
(1)   Tidak seorangpun boleh diperbudak atau diperhamba.
(2)   Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.
-          Pasal 21 : Setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh manjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya.
-          Pasal 22 :
(1)   Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)   Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2.      UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
-          Pasal 5 : Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
-          Pasal 6 : Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
-          Pasal 31 : Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
-          Pasal 67 (1) : Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
-          Pasal 72 : Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
-          Pasal 86 : Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:
(1)   keselamatan dan kesehatan kerja;
(2)   moral dan kesusilaan; dan
(3)   perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
-          Pasal 88 : (1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
-          Pasal 99 : (1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
-          Pasal 151 :
(1)   Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2)   Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3)   Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
-          Pasal 153 :
(1)   Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a)      pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b)      pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
c)      pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d)     pekerja/buruh menikah;
e)      pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f)       pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g)      pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h)      pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i)        karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j)        pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(1)   Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
 
 
-          Pasal 156 : (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

3.      UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-          Pasal 4 :
(1)   Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2)   Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a)      istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b)      istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c)      istri tidak dapat melahirkan keturunan.
-          Pasal 7 :
(1)   Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
(2)   Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3)   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
-          Pasal 10 : Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
-          Pasal 29 :
(1)   Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertilis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
(2)   Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3)   Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)   Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
-          Pasal 31 :
(1)   Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)   Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3)   Suami adalah Kepala Keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
-          Pasal 45 :
(1)   Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2)   Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
 
4.      UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
-          Pasal 2:Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :
a. non diskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
-          Pasal 3 : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
-          Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
-          Pasal 5 : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
-          Pasal 6 : Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
-          Pasal 7 :
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-          Pasal 8 : Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
-          Pasal 9 :
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.
-          Pasal 10 : Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
-          Pasal 11 : Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
-          Pasal 12 : Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
-          Pasal 13 :
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
-          Pasal 14 : Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
-          Pasal 15 : Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
-          Pasal 16 :
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.


5.      UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
-          Pasal 5 : Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a)      Kekerasan Fisik
b)      Kekerasan Psikis
c)      Kekerasan Seksual, atau
d)     Penelantaran Rumah Tangga
-          Pasal 9 :
(1)   Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)   Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
 
-          Pasal 16 :
(1)   Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
(2)   Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani.
(3)   Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
-          Pasal 18 : Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.

Senin, 15 April 2013

Korupsi dan Pungli


Berantas Korupsi, Hindari Pungli
Oleh : Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum

KASUS tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh (para) Pejabat Negara, terkait kasus Gayus Tambunan, yang telah melakukan konspirasi dengan wajib pajak penangananya dinilai masyarakat sangat lambat. Tentu saja hal itu menyusul adanya tangan-tangan tidak kelihatan yang ikut mengamankan ”oknum” tertentu.

Dalam kasus-kasus suap, sebenarnya sudah ada yang menagani yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana telah diatur dalam UU No. 30/2002 sebagaimana diubah dengan Perppu No. 4/2009. Bahkan sekarang ini telah terealisasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 46/2009.
Berbicara masalah korupsi pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan menyangkut suap. Namun sebenarnya secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering sebagai masalah palitik daripada ekonomi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Clive Cray seorang ekonom memberikan komentarnya tentang korupsi, “Sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu, dan barang tertentu yang akan dibeli ini berupa keputusan. Izin atau secara lebih tegas tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran. Dan setiap kali akan terjadi "keseimbangan” karena dalam modal akonami pasar juga ada pengertian "harga diskriminasi” dalam pasaran tanda tangan pejabat. juga ada kemungkinan perhedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan golongan "ekonomi lemah”.

Dengan memahami pendapat Clive Gray tersebut_kalau dikaitkan dengan kasus Gayus, dapat ditaksirkan bahwa konspirasi antara Gayus-Wajib Pajak (WP)- Pejabat lainnya (penyidik, jaksa, hakim), yang mana WP telah menyuap sejumlah uang kepada Gayus, dan uang sogokan tersebut telah didistribusikan dengan pejabat lainnya yang terkait. maka jelas dimaksudkan untuk memperoleh imbalan atau sesuatu dari pejahat tersebut, yaitu "keinginan pembayaran pajak.

Yang mungkin seharusnya pajak yang harus dibayar oleh WP kepada negara adalah Rp 280 miliar menjadi jauh lebih ringan. dan untuk meringankan jumlah pembayaran pajak tersebut, WP telah menyuap Gayus sebagai "oknum" yang dapat mengatur milai pajak yang harus dibayar dengan mendapatkan imbalan Rp 28 miliar (seandainva fee Gayus Ca 10% kemungklnan bisa lebih dari 10%).

Dapat dipastikan, negara rugi luar biasa. Itu hanya seorang “Gayus”, ada berapa “Gayus” di seluruh Indonesia? Tidak dapat dibayangkan berapa kerugian negara seandainya ada beratus-ratus Gayus yang bekerja di Kantor Pajak. Padahal pajak merupakan pendapatan utama bagi negara. Jadi tanda tangan seorang pejabat sedemikian mahalnya, tentunya harga mahal tersebut oleh WP dimasukkan dalam harga barang yang dijual, sehingga konsumenlah yang secara tidak langsung akan memikul beban "suap" tersebut karena harga harang menjadi lebih mahal dibandingkan jika WP tidak menyuap.


Gaji Pejabat

Pada umumnya, orang selalu menggabungkan tumbuh suburnya korupsi dikarenakan gaji pejabat yang rendah, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang prosedur yang berliku-liku dan sebagainya. Padahal anggapan ini tidak selalu benar, karena ada pejabat yang gaji sudah tinggi dengan banyak fasilitas yang dimiliki, tetapi karena ada sifat serakah, akibatnya juga masih melakukan tindakan korupsi, bahkan nilainya tidak tanggung-tanggung. Hal ini sependapat dengan Guy J Pauker yang mengatakan:

Although corruption is widespread in Indonesia as a meant af supplementing excessively low government salaries, the resources of the nation are not being used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and to some extent, for welfare".


Konsep Keadilan

Jadi gaji tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau ditinjau dari rasa keadilan, pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, menuju kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan. Konsep keadilan dipahami dengan istilah yang sepadan "fairness, non a discrimination, equality”.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, dengan pemungutan pajak, menciptakan rasa ketidakadilan. Misalnya orang kaya yang kekayaan dan kemampuannya bertambah terus, tapi pembayaran pajak ke kas negara cenderung turun dari tahun ke tahun, peranannya dalam pembayaran pajak menjadi kecil, sedangkan orang tidak kaya yang riil mendapat bagian lebih kecil memberi kontribusi yang semakin besar. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan.

Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pegawai pajak dan wajib pajak, melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemungutan dan pembayaran pajak.
Diharapkan untuk masa-masa yang akan datang, tidak ada lagi Gayus-Gayus yang lain untuk mengkorup uang negara.
Korupsi sangat memengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia, maka korupsi benar-benar harus ditangani secara serius atau diberantas secara tuntas, agar perekonomian tidak hancur, tidak terperosok dalam keterpurukan. Gunnar Myrdal mengatakan:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenal kurang tumhuhnya pasar nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang pada waktu yang bersamaan, kesatuan Negara bertambah lemah, turunnya martabat Pemerintah, tendensi-tendensi ini membahayakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi.


Strategi Pemberantasan

Indonesia perlu memiliki strategi pemberantasan korupsi yang andal agar membuat jera para koruptor, karena korupsi akan mengacaukan pembangunan negara, bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan kebocoran.

Dampak korupsi uang pajak sangat besar bagi perekonomian Indonesia, antara lain:
(1) Pertumbuhan ekonomi terhambat, karena tidak tercipta harmonisasi antara keuntungan swasta dan kepentingan publik. Pengusaha yang juga sebagai WP hanya memikirkan pada keamanan dan kenyamanan sendiri, hanya keuntungan sendiri. WP dituntun oleh. tangan yang tidak kelihatan untuk bekerja demi suatu tujuan pribadi tanpa memikirkan negara:
(2) Harga barang atau jasa semakin tinggi atau dinaikkan, karena pungutan pajak liar dan tidak resmi (suap), sehingga pengusaha 1 WP mematok harga barang atau jasa sangat tinggi, akibatnya omzet penjualan turun, kurang pembeli, perekonornian lesu
Jadi sebaiknya, Pemerintah tidak hanya melakukan tindakan pengawasan saja terhadap para koruptor, melainkan meninjau kembali gaji pegawai, menaikan moral pegawai tinggi, segala bentuk pungutan liar harus dihindari dengan membuat peraturan yang resmi menjadi pendapatan resmi atau legal, sehingga sudah tidak ada lagi pungutan liar ataupun suap.

* Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum, adalah staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)

Jakarta - Dalam karya-karyanya, sastrawan sudah sering memperingatkan adanya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Tapi, peringatan itu tak pernah digubris. Sehingga korupsi makin menggerogoti sebagian jiwa masyarakat. Setelah surat kabar luar negeri menyiarkan kasus yang memalukan ini, barulah masalah itu ditangani.
Demikian pernyataan Mochtar Lubis dan Ramadhan KH yang dihubungi hari Sabtu (5/12) di Jakarta. Kedua sastrawan terkenal yang sangat memperhatikan masalah korupsi di negeri ini, berusaha menanggapi kembalinya uang komisi ilegal almarhum Achmad Tahir dalam keputusan yang dibacakan oleh Hakim Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura Lai Kew Chai hari Kamis (3/12). Pertamina berhak atas deposito sebesar 78 juta dolar AS yang tersimpan dalam 17 account DM (Deutsche Mark).
Apa yang diungkapkan tentang korupsi di tubuh Pertamina, sudah bertahun-tahun lalu dipublikasikan di Harian Indonesia Raya. “Memang amat disayangkan, setelah kasus ini disiarkan media luar negeri, baru kita mempersoalkannya. Saya seringkali memperingatkan hal ini,” kata Mochtar Lubis dengan vokal.
Sebenarnya, kata Mochtar Lubis lebih lanjut, apa yang diungkapkan tentang kasus korupsi yang menyangkut Achmad Tahir itu, baru sebagian kecil saja dari korupsi yang terjadi. “Bukan hanya dia yang melakukan korupsi. Tapi kalau mau diperiksa di departemen-departeman, kenyataan semacam ini banyak dijumpai,” kata pengarang “Senja di Jakarta” ini bersemangat.
Mochtar Lubis selanjutnya menyatakan, yang sangat disayangkan, kasus korupsi yang sangat memalukan itu justru diputuskan oleh Hakim Tinggi di Singapura. “Kalau kasus korupsi yang memalukan ini terjadi di Jepang, sudah bisa dipastikan pelakunya akan melakukan bunuh diri dengan harakiri. Apalagi saya baca di koran dua atau tiga triliun uang negara telah menjadi sasaran korupsi,” lanjut Mochtar Lubis.
Tidak Peka
Menurut Mochtar Lubis, sastrawan dengan berbagai karyanya, sudah berulangkali mengingatkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. “Tapi, kalau sebagian masyarakat tidak peka, tentu tidak akan menghiraukan kasus-kasus korupsi yang ada di depannya,” sambung pengarang buku “Kuli Kontrak” ini.
Dengan blak-blakan Mochtar Lubis mengatakan, kasus korupsi terjadi tidak hanya terjadi pada Achmad Tahir saja. “Cobalah periksa departemen-departemen, apa benar-benar bersih dan tak ada korupsinya. Untuk mengatasi korupsi ini, memang harus diketahui bagaimana timbulnya, siapa pelakunya dan dimana itu terjadi,” kata Mochtar Lubis.
Sedangkan Ramadhan KH mengatakan masalah korupsi ini bukan perkara sepele. “Ada yang mengatakan komisi tiga persen itu legal. Apa ini bisa dibenarkan?” tanya sastrawan yang baru saja meluncurkan novelnya “Ladang Perminus” (1990).
Tapi dalam kenyataannya, kata Ramadhan KH, komisi yang sering diterima itu tak hanya tiga persen, tapi bisa saja sepuluh dan tiga puluh persen. “Para sastrawan kita sudah banyak sekali mengungkapkannya dalam karya sastra. Tapi, saya tak tahu apakah mereka tidak peka atau memang tidak menggubrisnya,” lanjut Ramadhan KH.
Ramadhan KH juga mengungkapkan sebelum kasus Achmad Tahir diluncurkan di Singapura, sebenarnya “Ladang Perminus” sudah terbit. “Apa yang saya ungkapkan dalam “Ladang Perminus” itu otentik, karena bersumber dari kenyataan,” tegas Ramadhan KH.
Pengarang “Royan Revolusi” dan “Keluarga Permana” ini selanjutnya mengatakan, kalau di mana-mana terjadi kasus korupsi, pungli, komisi dan sebagainya, bagaimana mungkin bisa ditemui kebenaran. “Justru di sinilah keterlibatan sastrawan dalam menyorot kasus-kasus yang menggerogoti kebenaran itu. Betapapun juga, korupsi itu harus diberantas,” tandas Ramadhan KH.
Keperdulian Sastrawan
Sebenarnya, sastrawan dengan kepekaannya sudah mencium kebobrokan moral yang terjadi di sebagian masyarakat. Itu tergambar dalam karya-karya mereka yang berupa sajak, artikel kebudayaan, cerpen dan novel. Di antara nama-nama mereka yang “rajin” mengungkapkan masalah korupsi ini ialah Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Hamsad Rangkuti, F. Rahardi dan Satyagraha Hoerip.
“Saya tertarik dengan novel Ramadhan KH “Ladang Perminus” yang menceritakan kebobrokan yang terjadi di tubuh Peramina. Novel itu begitu otentik,” kata HB Jassin suatu hari di rumahnya.
Penyair F. Rahardi sengaja menerbitkan kumpulan sajak dengan judul “Catatan Harian Sang Koruptor” (1985) yang merupakan keperduliannya pada realitas yang terjadi sekitarnya.
Dalam sajaknya “Tentang Rakyat”, F. Rahardi menulis baris-baris sajak seperti berikut :
dan rakyat
menciptakan kesempatan
buat
pejabat korup
agar bebas
melepas cawat
dan mengumbar syahwat
Dalam karya sastra kontekstualisme, lingkungan hidup masyarakat berpengaruh pada karya-karya yang diciptakan sastrawan. “Setidaknya inilah yag memicu perdebatan tentang sastra kontekstualisme yang dimeriahkan oleh Arief Budiman dan juga Ariel Heryanto. Pengarang memiliki ‘keperluan’ pada realitas sosia yang terjadi di zamannya.
Dalam mengungkapkan masalah korupsi yang terjadi di sekitarnya, sastrawan memakai berbagai gaya. Ada yang menceritakan dengan gamblang (prosais) dalam karya berupa novel dan cerpen. Tapi, ada pula yang menggunakan metafor-metafor tertentu, yang tujuannya tak lain adalah mengajak pembaca berkontemplasi.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam Horison edisi Maret 1991 menulis sajak yang berjudul “David Copperfield, Realitis 90″. Di antara baris-baris sajak itu :
aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air
mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza
aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi pasir
Dengan ketajaman intuisinya, sastrawan melihat berbagai kebobrokan dalam masyarakat dengan cukup terang dan jelas. Apalagi jika berbagai kebobrokan itu benar-benar terpampang di depan matanya. Memang, pada akhirnya kita harus mempertanyakan, benarkah masyarakat kita sudah tidak peka pada kasus korupsi? Atau, masalahnya, karena karya sastra tidak mengundang minat masyarakat kita? (Ray Rizal)

Strategi Kedepan dalam Memberantas Korupsi

Ada beberapa strategi kedepan dalam memberantas korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masingnya memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Revida, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi  yaitu sebagai berikut :
1.    Membuat struktur baru,  yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
2.    Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan berprilaku korup.
3.    Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
4.    Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sistemik tidak terlalu besar. Sekiranya ada suatu pembaharuan struktural, barangkali mampu mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi yaitu adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka kesempatan korupsi harus segera ditutup. Begitu pula halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi. Misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan yang melekat dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi, yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas. Pengadaan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki dan lebih terjamin. Satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Kartono (1983) menyarankan upaya penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.    Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab dalam bentuk partisipasi politik dan kontrol sosial, bukan dengan bersifat acuh tak acuh.
2.    Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.    para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, dalam memberantas dan menindak korupsi.
4.    Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.    Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah melalui penyederhanaan jumlah departemen  beserta jawatan dibawahnya.
6.    Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.    Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.    Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9.    Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, yang dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.                        Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdepan bahwa,  korupsi sudah mengakar bahkan ekstrimnya telah membudaya dalam masyaralat kita.  Akar tersebut telah ada semenjak zaman kerajaan, penjajahan kolonial, zaman VOC sampai sekarang ini. Untuk itu,  menurut penulis perlu langkah atau strategi untuk mengantisipasi dan mengkikis habis di negara kita. Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang, namun harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui :
Pertama, negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab,  bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini,  prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga,  perlu penegakkan hukum. Di era reformasi saat ini penegakkan hukum merupakan suatu keharusan. Harus dalam arti bahwa segala macam tindakan yang melanggar hukum termasuk para koruptor  harus mendapat ganjaran sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan. Meskipun banyak dari kalangan masyarakat yang menyangsikan  keberadaan keandalan penegak hukum di negara kita dapat berjalan dengan baik, namun dalam realitanya begitu banyak kasus-kasus yang digarap oleh para penegakkan hukum yang tidak memandang bulu siapa yang ia hakimi. Sepatutnya kita berharap banyak kepada penegak hukum agar hukum dapat kiranya meningkatkan segala macam usaha untuk mengikis habis koruptor tersebut. Sebab, selama penegakkan hukum tidak tegas dan tidak berwibawa,  maka selama itu pula para koruptor tersebut tumbuh dengan cepat.
Kejujuran penegak hukum (fair trial) harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih mampu berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut profesionalisme para penegak hukum kita, terutama jika pemerintah memang menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Keempat,  sebelum diadakan pemilihan seorang pemimpin,  mulai dari presiden, gubernur, Bupati  dan pejabat  pemerintah lainnya perlu dilakukan cek apakah ia tidak terindikasi melakukan korupsi. Pengecekkan ini diperlukan mengingat bahwa pemimpin yang kita harapkan untuk masa depan negara ini adalah pemimpin yang bersih dari segala tuntutan hukum termasuk korupsi.  Di era reformasi ini upaya tersebut telah dilakukan ke beberapa aparat pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, yaitu dengan melaporkan segala macam kekayaan yang dipunyai oleh para penyelengara negara tersebut. Secara tidak langsung hal tersebut tidak terlepas dari usaha untuk mencegah serta memonitor usaha kearah korupsi.
Kelima, perlu penanaman moral bagi para penyelengara negara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.  Penanaman moral merupakan suatu keharusan, karena perilaku korupsi sangat terkait dengan identitas moral seseorang. Selama moralnya baik, maka perilaku korupsi tersebut tidak akan bisa terjadi.  Begitu juga sebaliknya, ketika kita berbicara masalah moral maka tidak terlepas dari jiwa keagamaan kita sendir,  karena dalam agama terutama agama Islam penamana moral yang baik sangat dituntut bahkan sangat diwajibkan kepada semua umatnya.
Keenam, pendayagunaan fungsi pegawasan adalah ikhtiar yang lebih tepat penyempurnaan pelaksanaannya. Setelah kita menelaah gejala-gejala yang berkaitan dengan manifestasi korupsi dalam masyarakat kita pada umumnya, dan khususnya dalam lingkungan aparatur pemerintaha sebagai pengelola upaya pembangunan. Hal ini sangat didukung oleh dukungan dari dalam yakni berbagai faktor yang ada dalam objek pengawasan itu sendiri. Misalnya adanya disiplin kerja yang memenuhi segala persyaratan manajerial, tenaga-tenaga kerja yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya, dan ciri-ciri lain yang dapat dianggap mempermudah pelaksanaan tugas pengawasan. Singkatnya, tertib kerja yang ditandai oleh disiplin tinggi pada umumnya mempermudah tugas pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan dukungan dari lingkungan luar ialah berbagai faktor yang ada di luar objek pengawasan itu sendiri. Misal, apakah aparatur kerja pada umumnya ditandai oleh tertib kerja dan disiplin tinggi, apakah kecerobohan tatalaksana mengejala di mana-mana tanpa dikenai hukuman, apakah ada insentif dan disintensif yang dikenakan terhadap tenaga kerja yang baik dan tidak baik, apakah dedikasi dan kemampuan tinggi berpengaruh terhadap promosi seseorang. Keseluruhan faktor ini membentuk iklim kerja yang ikut memberi pengaruh pada satuan-satuan kerja pada umumnya.
Penanganan masalah korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja, sebab cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam artian, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas ?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Fungsi dan wewenang pengawasan inilah yang harus ditingkatkan. Dalam keadaan mendesak sekalipun pengawasan ini dapat melakukan tindakan korektif, sehingga tugas pengawasan dapat dijalankan dengan baik. Mekanisme dan kemampuan pengawasan yang hendak dicapai ini banyak sedikitnya tergantung dari sasaran akhir dari pengawasan. Idealnya pengawasan dapat mencapai sasaran kebersihan dan kewibawaan aparatur. Dengan sasaran “kebersihan” dimaksudkan agar mampu mengungkapkan semua penyelewengan dan kebocoran yang terjadi jikalau ada.  Sedangkan sasaran “kewibawaan” dimaksudkan untuk mampu mengungkapkan pemborosan jikalau betul terjadi, namun mampu pula menunjukkan secara menyakinkan bahwa dalam kegiatan yang diperikasa sesungguhnya tidak terdapat penyimpangan, sehingga menimbulkan kepercayaan (kredibilitas) yang merupakan unsur pokok lahirnya kewibawaan.
Lebih lanjut, usulan mendeteksi korupsi yang komplek juga diperlukan sekaligus dan memerlukan upaya yang lebih mendalam atau pemeriksaan yang bersifat  biasa terhadap kegiatan-kegiatan bersifat relatif sederhana. Salah satu masalah yang dihadapi adalah perilaku yang selalu merupakan kolusi atau persengkokolan antara paling kurang dua orang yaitu oknum yang memegang wewenang (pejabat) dan pihak yang memerlukan pelayanan. Kedua-duanya, jikalau telah korup,  berkepentingan atas terlaksananya korupsi ; satu pihak memerlukan imbalan sementara lain memerlukan fasilitas yang dapat memberikan keuntungan. Keduanya juga berkepentingan dalam merahasiakan hubungan ini. Bagi oknum pegawai negeri misalnya karena ada resiko terhadap kedudukannya. Sedangkan bagi swasta agar hubungan dapat berlangsung terus secara menguntungkan, di samping resiko tindakan hukuman. Berbagai upaya dilakukan para pelaku untuk menyelubungi perbuatan korupsi sehingga terlihat sebagai transaksi yang sah dan wajar tanpa sesuatu pelangaran. Dengan menjalankan prosedur-prosedur semu yang lengkap sesuai aturan dan mempersiapkan bukti-bukti yang kelihatan benar dan otentik.

Penutup
Perilaku korupsi ada apabila seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat beserta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen instrumen kebijakan, tarif dan kredit, sistem irigasi dan kebijakan perubahan, penegakan hukum dan peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak dan pengembalian pinjaman atau bisa juga menyangkut prosedur prosedur sederhana. Korupsi dapat terjadi di sektor swasta maupun di sektor pemerintah dan  bahkan terjadi sekaligus terhadap keduanya. Prilaku korupsi itu bisa jarang atau bisa meluas. Disejumlah negara berkembang korupsi telah meresap dalam sistem.
Jadi berkenaan dengan  pertanyaan, mungkinkah korupsi bisa dikikis habis di negara kita ini, maka jawabnya adalah bisa. Bisa dalam arti bahwa yang namanya korupsi  hanya sebuah perbuatan yang dilakukan dengan mengambil sesuatu tanpa ada milik seseorang  yang terzalimi, apakah  dalam bentuk uang atau barang. Oleh karena hal tersebut berkenaan sebuah perbuatan maka bisa saja dicegah serta tidak dilakukan sama sekali. Tetapi untuk melaksanakan hal tersebut perlu kiranya suatu terobosan serta jiwa yang bersih, sekaligus tanpa adanya  paksaan oleh sesuatu pun.
Sesungguhnya perilaku korupsi bisa dikikis habis dari bumi Indonesia, tapi dengan catatan semua elemen masyarakat mempunyai niat yang sama bahwa, korupsi tidak dilakukan lagi. Di samping itu,  perlu kiranya pengawasan yang ketat dalam hal pengelolaan keuangan terutama keuangan negara, karena selama pengawasan kurang maka ketika itu pula ia akan merajalela di Indonesia.
Mengikis praktik korupsi memerlukan kerjasama segala elemen dalam masyarakat di negara kita dalam mengikis hal tersebut, karena kerjasama (sekali lagi mungkin) akan dapat mengikis habis praktek korupsi di negara kita. Oleh karena itu, apa yang telah terjadi dimasa lalu tidak akan terulang lagi, dan tak salah orang bijak berkata “belajar sejarah merupakan satu hal yang baik, terutama untuk dapat melihat masa depan yang lebih baik.

Politik Hukum Pidana


Bab 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
            Politik hukum merupakan kebijakan dasar oleh suatu negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Ada pendapat bahwa politik hukum ini berasal dari gabungan antara ilmu hukum dan filsafat hukum, ini merubah pandangan selama ini bahwa politik hukum merupakan gabungan ilmu hukum dan ilmu politik. Proses interplay keduanya (Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum) terjadi dengan cara; ilmu hukum diarahkan pada cara untuk mencapai tujuan, adapun filsafat hukum diarahkan untuk melihat tujuan yang diinginkan. Penggunaan secara bersamaan dan kreatif itulah yang akhirnya melahirkan politik hukum. Dengan politik hukum negara dapat merencanakan tata cara meraih tujuan dengan menggunakan jalur hukum.
            Dalam kerangka nasional penyelenggara negara di Indonesia menjalankan politik hukum yang berdasar dengan sistem presidensial. Berubahnya sistem pemilihan umum di Indonesia menyebabkan berubahnya politik hukum Indonesia. Saat ini presiden bukan lagi mandataris MPR yang menjalankan GBHN yang diamanatkan oleh mandatarisnya. Saat ini yang menjadi haluan negara adalah kebijakan presiden dan janji-janji kampanye calon presiden, olehnya dalam menyusun kebijakan dasar di negara para perumus kebijakan senantiasa merujuk kepada program-program yang dijanjikan oleh calon presiden yang terpilih. Menyangkut masalah pelayanan publik presiden menjanjikan pelayanan publik yang baik bagi masyarakat. Dengan merunut hal itu maka perancang peraturan perundang-undangan membuat RUU pelayanan publik yang telah disahkan pada bulan Agustus 2009. Akan tetapi yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan politik hukum, apakah tujuan fundamental dalam pembentukan Undang-Undang Pelayanan Publik.
1.2 Identifikasi Masalah
Beberapa pokok masalah atau permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang mendasari kebijakan suatu politik hukum terhadap suatu aturan ?
2.  Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi politik hukum suatu negara?
1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar kebijakan suatu politik hukum terhadap suatu aturan.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi politik hukum suatu negara.
1.4 Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan paper ini adalah: Study kepustakaan dan melaluai internet search. Yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data-data tersebut.



Bab 2
Pembahasan
2.1. Politik Hukum terhadap Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
            Sebagaimana telah dijelaskan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar oleh suatu negara yang dilaksanakan oleh penyelenggara negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Dalam pengertian tersebut kata “penyelenggara negara” dan “tujuan negara yang dicita-citakan” menjadi sorotan dalam studi ini. Dan siapa yang dimaksud penyelenggara negara dan di mana kita menemukan tujuan negara yang dicita-citakan itu? Penyelenggara negara adalah lembaga-lembaga negara yang diberikan wewenang oleh konstitusi untuk mengadakan pemerintahan suatu negara. Penyelenggara disebut juga dengan pemerintah, yang pengertian luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia mencakup juga kekuasaan inspektif.
            Adapun tujuan negara yang dicita-citakan dapat dilihat secara umum pada Pembukaan UUD Negara R.I tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang terdapat terdapat dalam pembukaan itu kemudian dijabarkan lebih rinci pada pasal-pasal UUD Negara R.I tahun 1945 tersebut, yang dioperasional kan dalam Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lain yang terdapat dibawahnya.
Kedua hal diatas, baik itu lembaga negara maupun tujuan negara yang dicita-citakan, merupakan studi hukum tata negara. Artinya hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoritis praktis kini menjadi kajian disiplin ilmu tersebut. Lalu sekarang, mana di antara badan-badan negara yang berwenag dalam penentuan politik hukum suatu negara? Dalam peraturan perundang-undangan mana saja politik hukum suatu negara dapat ditemukan? Dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi politik hukum suatu negara?
            Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum dalam peraturan perundang-undangan, dan faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan politik hukum suatu negara.
Berangkat dari salah satu ruang lingkup politik hukum kita akan mencoba menemukan letak politik hukum dalam UU. No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya tentang defenisi politik hukum maka dapat ditarik beberapa poin yang dapat dijadikan pisau analisis dalam mencari titik taut atau letak politik hukum dalam UU. No 25/2009 tentang Pelayanan publik yaitu:
1.    Masalah kebijakan dasar;
2.    Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut;
3.    Peoses pembentukan hukum;
4.    Dan tujuan politik hukum nasional.
Namun dari keempat poin tersebut yang menjadi pisau analisis utama adalah tujuan politik hukum nasional

Masalah kebijakan dasar
            Adapun yang dimaksudkan dengan kebijakan dasar adalah pedoman dasar dari segala bentuk perumusan, pembentukan dan pengembangan hukum di tanah air. Jadi untuk memenuhi syarat sebagai pedoman dasar berarti hal tersebut bersifat mendasar pula, bukan peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis, olehnya dalam hal menjawab hal tersebut mau tidak mau kita harus merujuk pada sumber tata urutan/hierarkis perundang-undangan di negara kita. Jenis dan hierarki perundang-undangan di Indonesia dapat kita lihat dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
1.    UUD Negara R.I tahun 1945
2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3.    Pereturan Pemerintah
4.    Peraturan Presiden
5.    Peraturan Daerah
Dari urutan tersebut terlihat bahwa UUD Negara R.I tahun 1945 menempati posisi tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dan kemudian disusul kemudian di bawahnya UU/PERPPU, PP, Perpres, dan Perda. Namun perlu diketaui kendati bersifat hierarki seperti itu, bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau perincian secara teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada tepat diatasnya, seperti Perda berasal dari Perpres, PP daru PERPPU atau lainnya. Penyusunan hierarki tersebut semata-mata dalam rangka menyinkronkan atau menghindarkan konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain.
Posisi UUD 1945 sebagai hukum dasar itulah yang memberikan legal consequence bahwa setiap materi perundang-undangan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi dari konstitusi dalam satu negara sebagai a politico-legal document yakni dokumen politik dan hukum suatu negara yang berfungsi sebagai alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum.
Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa UUD Negara R.I Tahun 1945-lah yang menentukan garis besar, arah, isi dan bentuk hukum yang akan diberlakukan di Indonesia. Dengan pemahaman seperti itu maka dapat diambil kesimpulan yang menjadi penentu kebijakan dasar dari UU No. 25/2009 tetang Pelayanan Publik adalah UUD Negara R.I Tahun 1945. Hal tersebut terlihat jelas dalam konsideran UU tersebut, di sana tertulis
“Menimbang: Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945”.
Penyelenggara Negara yang Menentukan Kebijakan Negara dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik
            Dengan merujuk kepada UUD 1945 maka Penyelenggara negara yang dapat merumuskan politik hukum nasional adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR merumuskan politik hukum nasional dalam bentuk undang-undang dasar, sedangkan DPR dapat merumuskan politik hukum dalam bentuk undang-undang, karena kedudukannya sebagai kekuasaan legislatif seperti yang tertuang dalam pasal 20 ayat (1) UUD Negara R.I tahun 1945. Namun demikian pihak eksekutif dapat juga mengajukan rancangan undang-undang seperti yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) UUD Negara R.I Tahun 1945. Jika dilihat dari sejarah pembentukan Undang-Undang pelayanan publik dapat diketahui bahwa Undang-Undang tersebut diajukan bersama oleh eksekutif. hal itu dapat dilihat dalam kalimat di bagian akhir konsideran Undang-Undang tersebut. Pada bagian itu terdapat kalimat “dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia”.
Proses Pembentukan Hukum
            Analisis terhadap poin ini akan membantu kita menemukan faktor-faktor yang turut serta mempengaruhi politik hukum dan dari hal tersebut akan dapat pula kita ketahui pengaruh apa yang mungkin ada dalam pembentukan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang tidaklah datang dari ruang hampa akan tetapi merupakan aktualisasi dari kehendak-kehendak politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Kehendak-kehendak ini bisa datang dari berbagai kalangan. Kehendak-kehendak tersebut bisa muncul dari baik pada tingkat supra struktur maupun infrastruktur Politik. Supra struktur dalam UUD Negara R.I Tahun 1945 adalah : DPR, MPR, PRESIDEN, MA, MK, KY, BPK, DPD. Sedangkan infrastruktur politik Indonesia terdiri dari partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, alat komunikasi politik, dan tokoh politik. Perlu diketahui, supra struktur yang dapat merumuskan politik hukum hanya MPR dan DPR saja serta usulan rancangan undang-undang dari Presiden. Sedangkan lembaga lain tidak.
Kehendak-kehendak baik yang bersifat politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain yang muncul dari tingkat infrastruktur politik kemudian diperdebatkan dan mengalami kristalisasi pada tingkat suprastruktur politik yang kemudian keluarannya adalah rumusan politik hukum baik yang terdapat dalam UUD maupun Undang-Undang.
Menyangkut proses pembentukan UU No. 25/2009 dapat kita lihat dari pertimbangan pembentukan Undang-Undang ini
“Menimbang:
a. bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
c. bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
d. bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pelayanan Publik;”
kehendak-kehendak yang terdapat dalam dasar pertimbangan proses pembentukan hukum dalam UU tersebut adalah kehendak-kehendak yang datangnya dari berbagai kalangan ada yang datangnya dari suprastruktur politik seperti Presiden dan DPR, ada yang datang dari tuntutan social society untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, adapula yang datang dari infrastruktur politik lainnya seperti pelaku ekonomi dan lain-lain. Secara garis besar seluruh kehendak dalam proses pembentukan hukum adalah kehendak-kehendank yang sifatnya politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Penjelasan empat hal tersebut akan di bahas pada bagian tujuan politik hukum nasional dalam UU No 25/2009.
Pembentukan hukum juga tergantung dari rumusan politik hukum yang terdapat dalam konstitusi. Menurut Prof. Hamid Awaluddin Berubahnya sistem pemilihan umum seperti yang diamanatkan pula dalam UUD Negara R.I Tahun 1945 menjadi pemilihan langsung oleh rakyat ikut merubah sistem politik di negara kita. Jika dahulu presiden merupakan mandataris MPR dan seluruh kebijakan yang akan diambil pemimpin negara dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan buatan MPR yang diamanatkan kepada presiden selaku pemegang mandat dari MPR maka kini presiden bukan lagi mandataris MPR dan tidak ada lagi GBHN yang dibuat oleh MPR untuk diamanatkan kepada presiden. Yang jadi permasalahan, kini apa yang menjadi penentu arah negara terkhusus dalam pembentukan kebijakan di bidang hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan? Yang menjadi penentu arah itu adalah kebijakan dari pemimpin sebagai konsekuensi dipilih langsung oleh rakyat dengan membawa program-program yang telah dijanjikan. Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik tentunya yang menjadi kebijakan dasar adalah UUD 1945, akan tetapi konstitusi tersebut pulalah yang memberikan konsekuensi bahwa penentu kebijakan adalah program pemimpin tertinggi bangsa ini, jadi dapat juga dikatakan kebijakannya dalam Undang-Undang pelayanan publik berasal dari janji-janji kampanye pada pemilihan presiden juga yang kemudian diusulkan melalui rancangan Undang-Undang kepada DPR, dan hal ini dalam konteks teoritis merupakan masukan dari salah satu suprastruktur politik di negara ini.
Tujuan Politik Hukum Nasional Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik
            Jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan
1.    Sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki;
2.    Dengan sistem hukum nasional itu akan mewujudkan cita-cita bangsa indonesia yang lebih besar.
Secara ideal sistem hukum nasional kita merupakan sebuah sistem hukum (materiil dan formil) yang dibangun berdasarkan ideologi pancasila, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sumber hukum lain yang bersesuaian atau relevan secara umum dengan masyarakat Indonesia serta berlaku di seluruh wilayah indonesia. Sementara cita-cita yang ingin diraih dengan sistem hukum itu pada dasarnya adalah dalam rangka menbantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam pembukaan UUD Negara R.I Tahun 1945; melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perincian dan konteks praktis dari apa yang tecantum dalam pembukaan UUD tersebut dapat dibaca pada pasal-pasal yang tedapat dalam UUD tersebut dan juga dapat ditemui pada peraturan perundang-undangan yang lain dibawahnya. Dalam hal ini yang akan kita jadikan objek kajian adalah UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU ini merupakan bagian dari sistem hukum yang oleh Lawrence M. Friedman disebut dengan legal substance.
Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik yang menjadi dasar pertimbangan atau tujuan yang hendak dicapai dengan pembentukan UU tersebut adalah bahwa;
1.    Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.    Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik;
3.    Bahwa sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara jelas;
4.    Bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan pengaturan hukum yang mendukungnya;
Jika menelaah hal tersebut di atas maka akan terlihat bahwa tujuan dari pembentukan UU tersebut mempunyai muatan politik, sosial, ekonomi, dan kultur/budaya.
Muatan politik terlihat pada bagian pertama yaitu
“Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Di kalimat tersebut mengedepankan tugas dan fungsi negara yang mana kedua hal itu merupakan kajian politis. Adalah merupakan kewajiban negara untuk memberikan dan menjamin pelayanan yang baik masyarakatnya. Hal tersebut sejalan dengan ajaran F.K Savigni bahwa negara adalah wadah buatan bagi sebuah komunitas untuk menjamin tercapainya tujuan yang dinginkan oleh komunitas tersebut. Aplikasi dari pencapaian cita-cita tersebut salah satunya adalah pelayanan terhadap publik tentunya.
Muatan tujuan yang bersifat sosial dapat kita lihat pada kalimat
“Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik”
Di sana terlihat bahwa ada tuntutan dari dalam masyarakat atau warga negara untuk meningkatkan pelayanan publik. Hal itu berarti bahwa selama ini pelayanan publik dianggap belum sesuai dengan apa yang masyarakat inginkan atau dengan kata lain jauh dari harapan masyarakat. Olehnya dengan membentuk undang-undang ini maka akan diharapkan masyrakat akan mempunyai paradigma baru tentang pelayanan publik di negara ini dan; terbangunnya kepercayaan terhadap pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik tersebut.
Tujuan yang mengandung muatan ekonomi tidak secara eksplisit dituliskan kedalam aturan tersebut, namun apabila kita mencermati keempat tujuan/pertimbangan dalam pembentukan undang-undang tersebut maka akan terlihat motif ekonominya. Contoh jika pelayanan publik dilaksanakan dengan optimal dalam sebuah korporasi milik negara dan memberikan kepuasan bagi publik maka secara ekonomi hal tersebut dapat menambah keuntungan bagi korporasi tersebut yang akhirnya akan mampu menambah kekayaan negara dan tentunya akan dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Kehendak terakhir yang terkandung dalam UU Pelayanan Publik tersebut adalah yang bermuatan kultur atau budaya. Hal inipun tidak dituliskan secara gamblang ke dalam pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut, tetapi jika dikaji lebih dalam salah satu tujuan dari dibentuknya UU pelayanan Publik ini adalah guna menciptakan budaya politik dan budaya hukum yang sehat dalam kegidupan bernegara di Indonesia khususnya dalam hal pelayanan publik. dengan UU tersebut diharapkan mampu menciptakan budaya pelayanan publik yang baik oleh penyelenggara pelayanan publik tersebut. Dan dengan terciptanya kultur hukum dan politik yang baik maka akan menciptakan kedewasaan bernegara (menyangkut Hukum dan Pemerintahan) dan lagi-lagi akan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa dan negara ini.

Bab III
 Penutup
3.1. Kesimpulan
Dari pemaparan-pemaparan penulis sebelumnya tentang politik hukum terhadap UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Berbicara tentang politik hukum yang terdapat dalam suatu aturan maka pisau analisis yang digunakan dalam mengkajinya adalah; Masalah kebijakan dasar; Penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut; Peoses pembentukan hukum; Dan tujuan politik hukum nasional
2.    Kebijakan dasar yang mendasari suatu politik hukum terhadap suatu aturan adalah berangakat dari konstitusi suatu negara dan jika berbicara tentang UU No.25/2009 maka yang menjadi kebijakan dasar adalah UUD Negara R.I Tahun 1945 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 20, Pasal 27 Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28H, Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RepubIik Indonesia Tahun 1945. 
3.    Proses pembentukan hukum dalam UU No. 25/2009 merupakan in put dari kehendak-kehendak yang datangnya dari berbagai kalangan ada yang datangnya dari suprastruktur politik seperti Presiden dan DPR, ada yang datang dari tuntutan social society untuk mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik, adapula yang datang dari infrastruktur politik lainnya seperti partai politik dan lain-lain. Secara garis besar seluruh kehendak dalam proses pembentukan hukum adalah kehendak-kehendank yang sifatnya politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
4.    Tujuan politik hukum nasional dalam UU No. 25 Tahun 2009 meliputi muatan-muatan yang bersifat politik, sosial, ekonomi, dan kultur/budaya. Yang menjadi muatan politis adalah; merupakan tugas dan kewajiban negara menjamin berlangsungnya pelayanan publik dengan baik, muatan sosial adalah; merupakan jawaban dari tuntutan perbaikan pelayanan publik dari masyrakat, muatan ekonominya adalah;dengan meningkatnya pelayanan publik maka diharapkan akan perekonomian juga makin tumbuh, dan yang menjadi muatan kulturnya adalah; menciptakan budaya hukum dan pemerintahan yang baik di kehidupan bernegara khususnya dalam bidang Pelayanan Publik.
3.2. Saran
Adapun saran yang penulis usulkan dalam tulisan ini adalah:
1.    Agar UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini bisa berjalan efektif maka hendaknya mengoptimalkan sosialisasi peraturan tersebut kepada penyelenggara Pelayanan Publik dan kepada masyarakat
2.    Di dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik ini sangat minim menggunakan politik hukum pidana dalam rangka menambah keefektifitasannya, padahal dalam rangka mengoptimalkan efektifitas sebuah peraturan juga sangat dibutuhkan dukungan dari politik hukum pidana. Jadi di masa datang dalam membuat sebuah Undang-Undang agar menempatkan juga politik hukum pidana sebagai penambah “daya” efektifitasnya.

Daftar pustaka

Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi
                        Revisi, Jakarta: Rineka Cipta.

               Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, Undang Undang Republik Indonesia nomor                     25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Jakarta, 2009.

               A.Hamid .S. Attamimi, Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan                           Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis mengenai keputusan Presiden yang                            berfungsi                pengaturan Pembangunan Nasional) Desertasi Doktor Universitas                         Indonesia, 1990

               A.A.G. Peters (Universitas Utrecht), Koesriani Siswosoebroto, SH, (Universitas                          Indonesia), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku                    III, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1990

               web : http://zamronicenter.com/download/peraturan-hukum.html