Senin, 15 April 2013

Korupsi dan Pungli


Berantas Korupsi, Hindari Pungli
Oleh : Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum

KASUS tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh (para) Pejabat Negara, terkait kasus Gayus Tambunan, yang telah melakukan konspirasi dengan wajib pajak penangananya dinilai masyarakat sangat lambat. Tentu saja hal itu menyusul adanya tangan-tangan tidak kelihatan yang ikut mengamankan ”oknum” tertentu.

Dalam kasus-kasus suap, sebenarnya sudah ada yang menagani yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana telah diatur dalam UU No. 30/2002 sebagaimana diubah dengan Perppu No. 4/2009. Bahkan sekarang ini telah terealisasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 46/2009.
Berbicara masalah korupsi pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan menyangkut suap. Namun sebenarnya secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering sebagai masalah palitik daripada ekonomi.

Sebagaimana dikemukakan oleh Clive Cray seorang ekonom memberikan komentarnya tentang korupsi, “Sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu, dan barang tertentu yang akan dibeli ini berupa keputusan. Izin atau secara lebih tegas tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran. Dan setiap kali akan terjadi "keseimbangan” karena dalam modal akonami pasar juga ada pengertian "harga diskriminasi” dalam pasaran tanda tangan pejabat. juga ada kemungkinan perhedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan golongan "ekonomi lemah”.

Dengan memahami pendapat Clive Gray tersebut_kalau dikaitkan dengan kasus Gayus, dapat ditaksirkan bahwa konspirasi antara Gayus-Wajib Pajak (WP)- Pejabat lainnya (penyidik, jaksa, hakim), yang mana WP telah menyuap sejumlah uang kepada Gayus, dan uang sogokan tersebut telah didistribusikan dengan pejabat lainnya yang terkait. maka jelas dimaksudkan untuk memperoleh imbalan atau sesuatu dari pejahat tersebut, yaitu "keinginan pembayaran pajak.

Yang mungkin seharusnya pajak yang harus dibayar oleh WP kepada negara adalah Rp 280 miliar menjadi jauh lebih ringan. dan untuk meringankan jumlah pembayaran pajak tersebut, WP telah menyuap Gayus sebagai "oknum" yang dapat mengatur milai pajak yang harus dibayar dengan mendapatkan imbalan Rp 28 miliar (seandainva fee Gayus Ca 10% kemungklnan bisa lebih dari 10%).

Dapat dipastikan, negara rugi luar biasa. Itu hanya seorang “Gayus”, ada berapa “Gayus” di seluruh Indonesia? Tidak dapat dibayangkan berapa kerugian negara seandainya ada beratus-ratus Gayus yang bekerja di Kantor Pajak. Padahal pajak merupakan pendapatan utama bagi negara. Jadi tanda tangan seorang pejabat sedemikian mahalnya, tentunya harga mahal tersebut oleh WP dimasukkan dalam harga barang yang dijual, sehingga konsumenlah yang secara tidak langsung akan memikul beban "suap" tersebut karena harga harang menjadi lebih mahal dibandingkan jika WP tidak menyuap.


Gaji Pejabat

Pada umumnya, orang selalu menggabungkan tumbuh suburnya korupsi dikarenakan gaji pejabat yang rendah, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang prosedur yang berliku-liku dan sebagainya. Padahal anggapan ini tidak selalu benar, karena ada pejabat yang gaji sudah tinggi dengan banyak fasilitas yang dimiliki, tetapi karena ada sifat serakah, akibatnya juga masih melakukan tindakan korupsi, bahkan nilainya tidak tanggung-tanggung. Hal ini sependapat dengan Guy J Pauker yang mengatakan:

Although corruption is widespread in Indonesia as a meant af supplementing excessively low government salaries, the resources of the nation are not being used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and to some extent, for welfare".


Konsep Keadilan

Jadi gaji tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau ditinjau dari rasa keadilan, pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, menuju kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan. Konsep keadilan dipahami dengan istilah yang sepadan "fairness, non a discrimination, equality”.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, dengan pemungutan pajak, menciptakan rasa ketidakadilan. Misalnya orang kaya yang kekayaan dan kemampuannya bertambah terus, tapi pembayaran pajak ke kas negara cenderung turun dari tahun ke tahun, peranannya dalam pembayaran pajak menjadi kecil, sedangkan orang tidak kaya yang riil mendapat bagian lebih kecil memberi kontribusi yang semakin besar. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan.

Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pegawai pajak dan wajib pajak, melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemungutan dan pembayaran pajak.
Diharapkan untuk masa-masa yang akan datang, tidak ada lagi Gayus-Gayus yang lain untuk mengkorup uang negara.
Korupsi sangat memengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia, maka korupsi benar-benar harus ditangani secara serius atau diberantas secara tuntas, agar perekonomian tidak hancur, tidak terperosok dalam keterpurukan. Gunnar Myrdal mengatakan:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenal kurang tumhuhnya pasar nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang pada waktu yang bersamaan, kesatuan Negara bertambah lemah, turunnya martabat Pemerintah, tendensi-tendensi ini membahayakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi.


Strategi Pemberantasan

Indonesia perlu memiliki strategi pemberantasan korupsi yang andal agar membuat jera para koruptor, karena korupsi akan mengacaukan pembangunan negara, bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan kebocoran.

Dampak korupsi uang pajak sangat besar bagi perekonomian Indonesia, antara lain:
(1) Pertumbuhan ekonomi terhambat, karena tidak tercipta harmonisasi antara keuntungan swasta dan kepentingan publik. Pengusaha yang juga sebagai WP hanya memikirkan pada keamanan dan kenyamanan sendiri, hanya keuntungan sendiri. WP dituntun oleh. tangan yang tidak kelihatan untuk bekerja demi suatu tujuan pribadi tanpa memikirkan negara:
(2) Harga barang atau jasa semakin tinggi atau dinaikkan, karena pungutan pajak liar dan tidak resmi (suap), sehingga pengusaha 1 WP mematok harga barang atau jasa sangat tinggi, akibatnya omzet penjualan turun, kurang pembeli, perekonornian lesu
Jadi sebaiknya, Pemerintah tidak hanya melakukan tindakan pengawasan saja terhadap para koruptor, melainkan meninjau kembali gaji pegawai, menaikan moral pegawai tinggi, segala bentuk pungutan liar harus dihindari dengan membuat peraturan yang resmi menjadi pendapatan resmi atau legal, sehingga sudah tidak ada lagi pungutan liar ataupun suap.

* Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum, adalah staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)

Jakarta - Dalam karya-karyanya, sastrawan sudah sering memperingatkan adanya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Tapi, peringatan itu tak pernah digubris. Sehingga korupsi makin menggerogoti sebagian jiwa masyarakat. Setelah surat kabar luar negeri menyiarkan kasus yang memalukan ini, barulah masalah itu ditangani.
Demikian pernyataan Mochtar Lubis dan Ramadhan KH yang dihubungi hari Sabtu (5/12) di Jakarta. Kedua sastrawan terkenal yang sangat memperhatikan masalah korupsi di negeri ini, berusaha menanggapi kembalinya uang komisi ilegal almarhum Achmad Tahir dalam keputusan yang dibacakan oleh Hakim Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura Lai Kew Chai hari Kamis (3/12). Pertamina berhak atas deposito sebesar 78 juta dolar AS yang tersimpan dalam 17 account DM (Deutsche Mark).
Apa yang diungkapkan tentang korupsi di tubuh Pertamina, sudah bertahun-tahun lalu dipublikasikan di Harian Indonesia Raya. “Memang amat disayangkan, setelah kasus ini disiarkan media luar negeri, baru kita mempersoalkannya. Saya seringkali memperingatkan hal ini,” kata Mochtar Lubis dengan vokal.
Sebenarnya, kata Mochtar Lubis lebih lanjut, apa yang diungkapkan tentang kasus korupsi yang menyangkut Achmad Tahir itu, baru sebagian kecil saja dari korupsi yang terjadi. “Bukan hanya dia yang melakukan korupsi. Tapi kalau mau diperiksa di departemen-departeman, kenyataan semacam ini banyak dijumpai,” kata pengarang “Senja di Jakarta” ini bersemangat.
Mochtar Lubis selanjutnya menyatakan, yang sangat disayangkan, kasus korupsi yang sangat memalukan itu justru diputuskan oleh Hakim Tinggi di Singapura. “Kalau kasus korupsi yang memalukan ini terjadi di Jepang, sudah bisa dipastikan pelakunya akan melakukan bunuh diri dengan harakiri. Apalagi saya baca di koran dua atau tiga triliun uang negara telah menjadi sasaran korupsi,” lanjut Mochtar Lubis.
Tidak Peka
Menurut Mochtar Lubis, sastrawan dengan berbagai karyanya, sudah berulangkali mengingatkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. “Tapi, kalau sebagian masyarakat tidak peka, tentu tidak akan menghiraukan kasus-kasus korupsi yang ada di depannya,” sambung pengarang buku “Kuli Kontrak” ini.
Dengan blak-blakan Mochtar Lubis mengatakan, kasus korupsi terjadi tidak hanya terjadi pada Achmad Tahir saja. “Cobalah periksa departemen-departemen, apa benar-benar bersih dan tak ada korupsinya. Untuk mengatasi korupsi ini, memang harus diketahui bagaimana timbulnya, siapa pelakunya dan dimana itu terjadi,” kata Mochtar Lubis.
Sedangkan Ramadhan KH mengatakan masalah korupsi ini bukan perkara sepele. “Ada yang mengatakan komisi tiga persen itu legal. Apa ini bisa dibenarkan?” tanya sastrawan yang baru saja meluncurkan novelnya “Ladang Perminus” (1990).
Tapi dalam kenyataannya, kata Ramadhan KH, komisi yang sering diterima itu tak hanya tiga persen, tapi bisa saja sepuluh dan tiga puluh persen. “Para sastrawan kita sudah banyak sekali mengungkapkannya dalam karya sastra. Tapi, saya tak tahu apakah mereka tidak peka atau memang tidak menggubrisnya,” lanjut Ramadhan KH.
Ramadhan KH juga mengungkapkan sebelum kasus Achmad Tahir diluncurkan di Singapura, sebenarnya “Ladang Perminus” sudah terbit. “Apa yang saya ungkapkan dalam “Ladang Perminus” itu otentik, karena bersumber dari kenyataan,” tegas Ramadhan KH.
Pengarang “Royan Revolusi” dan “Keluarga Permana” ini selanjutnya mengatakan, kalau di mana-mana terjadi kasus korupsi, pungli, komisi dan sebagainya, bagaimana mungkin bisa ditemui kebenaran. “Justru di sinilah keterlibatan sastrawan dalam menyorot kasus-kasus yang menggerogoti kebenaran itu. Betapapun juga, korupsi itu harus diberantas,” tandas Ramadhan KH.
Keperdulian Sastrawan
Sebenarnya, sastrawan dengan kepekaannya sudah mencium kebobrokan moral yang terjadi di sebagian masyarakat. Itu tergambar dalam karya-karya mereka yang berupa sajak, artikel kebudayaan, cerpen dan novel. Di antara nama-nama mereka yang “rajin” mengungkapkan masalah korupsi ini ialah Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Hamsad Rangkuti, F. Rahardi dan Satyagraha Hoerip.
“Saya tertarik dengan novel Ramadhan KH “Ladang Perminus” yang menceritakan kebobrokan yang terjadi di tubuh Peramina. Novel itu begitu otentik,” kata HB Jassin suatu hari di rumahnya.
Penyair F. Rahardi sengaja menerbitkan kumpulan sajak dengan judul “Catatan Harian Sang Koruptor” (1985) yang merupakan keperduliannya pada realitas yang terjadi sekitarnya.
Dalam sajaknya “Tentang Rakyat”, F. Rahardi menulis baris-baris sajak seperti berikut :
dan rakyat
menciptakan kesempatan
buat
pejabat korup
agar bebas
melepas cawat
dan mengumbar syahwat
Dalam karya sastra kontekstualisme, lingkungan hidup masyarakat berpengaruh pada karya-karya yang diciptakan sastrawan. “Setidaknya inilah yag memicu perdebatan tentang sastra kontekstualisme yang dimeriahkan oleh Arief Budiman dan juga Ariel Heryanto. Pengarang memiliki ‘keperluan’ pada realitas sosia yang terjadi di zamannya.
Dalam mengungkapkan masalah korupsi yang terjadi di sekitarnya, sastrawan memakai berbagai gaya. Ada yang menceritakan dengan gamblang (prosais) dalam karya berupa novel dan cerpen. Tapi, ada pula yang menggunakan metafor-metafor tertentu, yang tujuannya tak lain adalah mengajak pembaca berkontemplasi.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam Horison edisi Maret 1991 menulis sajak yang berjudul “David Copperfield, Realitis 90″. Di antara baris-baris sajak itu :
aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air
mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza
aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi pasir
Dengan ketajaman intuisinya, sastrawan melihat berbagai kebobrokan dalam masyarakat dengan cukup terang dan jelas. Apalagi jika berbagai kebobrokan itu benar-benar terpampang di depan matanya. Memang, pada akhirnya kita harus mempertanyakan, benarkah masyarakat kita sudah tidak peka pada kasus korupsi? Atau, masalahnya, karena karya sastra tidak mengundang minat masyarakat kita? (Ray Rizal)

Strategi Kedepan dalam Memberantas Korupsi

Ada beberapa strategi kedepan dalam memberantas korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masingnya memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Revida, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi  yaitu sebagai berikut :
1.    Membuat struktur baru,  yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
2.    Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan berprilaku korup.
3.    Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
4.    Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sistemik tidak terlalu besar. Sekiranya ada suatu pembaharuan struktural, barangkali mampu mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi yaitu adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka kesempatan korupsi harus segera ditutup. Begitu pula halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi. Misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan yang melekat dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi, yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas. Pengadaan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki dan lebih terjamin. Satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula.
Kartono (1983) menyarankan upaya penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1.    Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab dalam bentuk partisipasi politik dan kontrol sosial, bukan dengan bersifat acuh tak acuh.
2.    Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3.    para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, dalam memberantas dan menindak korupsi.
4.    Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.    Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah melalui penyederhanaan jumlah departemen  beserta jawatan dibawahnya.
6.    Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.    Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.    Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9.    Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, yang dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10.                        Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdepan bahwa,  korupsi sudah mengakar bahkan ekstrimnya telah membudaya dalam masyaralat kita.  Akar tersebut telah ada semenjak zaman kerajaan, penjajahan kolonial, zaman VOC sampai sekarang ini. Untuk itu,  menurut penulis perlu langkah atau strategi untuk mengantisipasi dan mengkikis habis di negara kita. Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang, namun harus secara mendalam menutup akar penyebabnya melalui :
Pertama, negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab,  bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini,  prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga,  perlu penegakkan hukum. Di era reformasi saat ini penegakkan hukum merupakan suatu keharusan. Harus dalam arti bahwa segala macam tindakan yang melanggar hukum termasuk para koruptor  harus mendapat ganjaran sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan. Meskipun banyak dari kalangan masyarakat yang menyangsikan  keberadaan keandalan penegak hukum di negara kita dapat berjalan dengan baik, namun dalam realitanya begitu banyak kasus-kasus yang digarap oleh para penegakkan hukum yang tidak memandang bulu siapa yang ia hakimi. Sepatutnya kita berharap banyak kepada penegak hukum agar hukum dapat kiranya meningkatkan segala macam usaha untuk mengikis habis koruptor tersebut. Sebab, selama penegakkan hukum tidak tegas dan tidak berwibawa,  maka selama itu pula para koruptor tersebut tumbuh dengan cepat.
Kejujuran penegak hukum (fair trial) harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih mampu berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut profesionalisme para penegak hukum kita, terutama jika pemerintah memang menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Keempat,  sebelum diadakan pemilihan seorang pemimpin,  mulai dari presiden, gubernur, Bupati  dan pejabat  pemerintah lainnya perlu dilakukan cek apakah ia tidak terindikasi melakukan korupsi. Pengecekkan ini diperlukan mengingat bahwa pemimpin yang kita harapkan untuk masa depan negara ini adalah pemimpin yang bersih dari segala tuntutan hukum termasuk korupsi.  Di era reformasi ini upaya tersebut telah dilakukan ke beberapa aparat pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, yaitu dengan melaporkan segala macam kekayaan yang dipunyai oleh para penyelengara negara tersebut. Secara tidak langsung hal tersebut tidak terlepas dari usaha untuk mencegah serta memonitor usaha kearah korupsi.
Kelima, perlu penanaman moral bagi para penyelengara negara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.  Penanaman moral merupakan suatu keharusan, karena perilaku korupsi sangat terkait dengan identitas moral seseorang. Selama moralnya baik, maka perilaku korupsi tersebut tidak akan bisa terjadi.  Begitu juga sebaliknya, ketika kita berbicara masalah moral maka tidak terlepas dari jiwa keagamaan kita sendir,  karena dalam agama terutama agama Islam penamana moral yang baik sangat dituntut bahkan sangat diwajibkan kepada semua umatnya.
Keenam, pendayagunaan fungsi pegawasan adalah ikhtiar yang lebih tepat penyempurnaan pelaksanaannya. Setelah kita menelaah gejala-gejala yang berkaitan dengan manifestasi korupsi dalam masyarakat kita pada umumnya, dan khususnya dalam lingkungan aparatur pemerintaha sebagai pengelola upaya pembangunan. Hal ini sangat didukung oleh dukungan dari dalam yakni berbagai faktor yang ada dalam objek pengawasan itu sendiri. Misalnya adanya disiplin kerja yang memenuhi segala persyaratan manajerial, tenaga-tenaga kerja yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi terhadap tugas-tugasnya, dan ciri-ciri lain yang dapat dianggap mempermudah pelaksanaan tugas pengawasan. Singkatnya, tertib kerja yang ditandai oleh disiplin tinggi pada umumnya mempermudah tugas pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan dukungan dari lingkungan luar ialah berbagai faktor yang ada di luar objek pengawasan itu sendiri. Misal, apakah aparatur kerja pada umumnya ditandai oleh tertib kerja dan disiplin tinggi, apakah kecerobohan tatalaksana mengejala di mana-mana tanpa dikenai hukuman, apakah ada insentif dan disintensif yang dikenakan terhadap tenaga kerja yang baik dan tidak baik, apakah dedikasi dan kemampuan tinggi berpengaruh terhadap promosi seseorang. Keseluruhan faktor ini membentuk iklim kerja yang ikut memberi pengaruh pada satuan-satuan kerja pada umumnya.
Penanganan masalah korupsi tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja, sebab cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam artian, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas ?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Fungsi dan wewenang pengawasan inilah yang harus ditingkatkan. Dalam keadaan mendesak sekalipun pengawasan ini dapat melakukan tindakan korektif, sehingga tugas pengawasan dapat dijalankan dengan baik. Mekanisme dan kemampuan pengawasan yang hendak dicapai ini banyak sedikitnya tergantung dari sasaran akhir dari pengawasan. Idealnya pengawasan dapat mencapai sasaran kebersihan dan kewibawaan aparatur. Dengan sasaran “kebersihan” dimaksudkan agar mampu mengungkapkan semua penyelewengan dan kebocoran yang terjadi jikalau ada.  Sedangkan sasaran “kewibawaan” dimaksudkan untuk mampu mengungkapkan pemborosan jikalau betul terjadi, namun mampu pula menunjukkan secara menyakinkan bahwa dalam kegiatan yang diperikasa sesungguhnya tidak terdapat penyimpangan, sehingga menimbulkan kepercayaan (kredibilitas) yang merupakan unsur pokok lahirnya kewibawaan.
Lebih lanjut, usulan mendeteksi korupsi yang komplek juga diperlukan sekaligus dan memerlukan upaya yang lebih mendalam atau pemeriksaan yang bersifat  biasa terhadap kegiatan-kegiatan bersifat relatif sederhana. Salah satu masalah yang dihadapi adalah perilaku yang selalu merupakan kolusi atau persengkokolan antara paling kurang dua orang yaitu oknum yang memegang wewenang (pejabat) dan pihak yang memerlukan pelayanan. Kedua-duanya, jikalau telah korup,  berkepentingan atas terlaksananya korupsi ; satu pihak memerlukan imbalan sementara lain memerlukan fasilitas yang dapat memberikan keuntungan. Keduanya juga berkepentingan dalam merahasiakan hubungan ini. Bagi oknum pegawai negeri misalnya karena ada resiko terhadap kedudukannya. Sedangkan bagi swasta agar hubungan dapat berlangsung terus secara menguntungkan, di samping resiko tindakan hukuman. Berbagai upaya dilakukan para pelaku untuk menyelubungi perbuatan korupsi sehingga terlihat sebagai transaksi yang sah dan wajar tanpa sesuatu pelangaran. Dengan menjalankan prosedur-prosedur semu yang lengkap sesuai aturan dan mempersiapkan bukti-bukti yang kelihatan benar dan otentik.

Penutup
Perilaku korupsi ada apabila seseorang secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat beserta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk dan membentang dari soal sepele sampai soal yang amat besar. Korupsi dapat menyangkut penyalahgunaan instrumen instrumen kebijakan, tarif dan kredit, sistem irigasi dan kebijakan perubahan, penegakan hukum dan peraturan menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak dan pengembalian pinjaman atau bisa juga menyangkut prosedur prosedur sederhana. Korupsi dapat terjadi di sektor swasta maupun di sektor pemerintah dan  bahkan terjadi sekaligus terhadap keduanya. Prilaku korupsi itu bisa jarang atau bisa meluas. Disejumlah negara berkembang korupsi telah meresap dalam sistem.
Jadi berkenaan dengan  pertanyaan, mungkinkah korupsi bisa dikikis habis di negara kita ini, maka jawabnya adalah bisa. Bisa dalam arti bahwa yang namanya korupsi  hanya sebuah perbuatan yang dilakukan dengan mengambil sesuatu tanpa ada milik seseorang  yang terzalimi, apakah  dalam bentuk uang atau barang. Oleh karena hal tersebut berkenaan sebuah perbuatan maka bisa saja dicegah serta tidak dilakukan sama sekali. Tetapi untuk melaksanakan hal tersebut perlu kiranya suatu terobosan serta jiwa yang bersih, sekaligus tanpa adanya  paksaan oleh sesuatu pun.
Sesungguhnya perilaku korupsi bisa dikikis habis dari bumi Indonesia, tapi dengan catatan semua elemen masyarakat mempunyai niat yang sama bahwa, korupsi tidak dilakukan lagi. Di samping itu,  perlu kiranya pengawasan yang ketat dalam hal pengelolaan keuangan terutama keuangan negara, karena selama pengawasan kurang maka ketika itu pula ia akan merajalela di Indonesia.
Mengikis praktik korupsi memerlukan kerjasama segala elemen dalam masyarakat di negara kita dalam mengikis hal tersebut, karena kerjasama (sekali lagi mungkin) akan dapat mengikis habis praktek korupsi di negara kita. Oleh karena itu, apa yang telah terjadi dimasa lalu tidak akan terulang lagi, dan tak salah orang bijak berkata “belajar sejarah merupakan satu hal yang baik, terutama untuk dapat melihat masa depan yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar