Berantas Korupsi, Hindari Pungli
Oleh : Prof. Lanny Kusumawati, SH,
MHum
KASUS tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh (para) Pejabat Negara, terkait kasus Gayus Tambunan, yang telah
melakukan konspirasi dengan wajib pajak penangananya dinilai masyarakat sangat
lambat. Tentu saja hal itu menyusul adanya tangan-tangan tidak kelihatan yang
ikut mengamankan ”oknum” tertentu.
Dalam kasus-kasus suap, sebenarnya sudah ada yang menagani yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana telah diatur dalam UU No. 30/2002 sebagaimana diubah dengan Perppu No. 4/2009. Bahkan sekarang ini telah terealisasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 46/2009.
Berbicara masalah korupsi pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan menyangkut suap. Namun sebenarnya secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering sebagai masalah palitik daripada ekonomi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Clive Cray seorang ekonom memberikan komentarnya tentang korupsi, “Sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu, dan barang tertentu yang akan dibeli ini berupa keputusan. Izin atau secara lebih tegas tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran. Dan setiap kali akan terjadi "keseimbangan” karena dalam modal akonami pasar juga ada pengertian "harga diskriminasi” dalam pasaran tanda tangan pejabat. juga ada kemungkinan perhedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan golongan "ekonomi lemah”.
Dengan memahami pendapat Clive Gray tersebut_kalau dikaitkan dengan kasus Gayus, dapat ditaksirkan bahwa konspirasi antara Gayus-Wajib Pajak (WP)- Pejabat lainnya (penyidik, jaksa, hakim), yang mana WP telah menyuap sejumlah uang kepada Gayus, dan uang sogokan tersebut telah didistribusikan dengan pejabat lainnya yang terkait. maka jelas dimaksudkan untuk memperoleh imbalan atau sesuatu dari pejahat tersebut, yaitu "keinginan pembayaran pajak.
Yang mungkin seharusnya pajak yang harus dibayar oleh WP kepada negara adalah Rp 280 miliar menjadi jauh lebih ringan. dan untuk meringankan jumlah pembayaran pajak tersebut, WP telah menyuap Gayus sebagai "oknum" yang dapat mengatur milai pajak yang harus dibayar dengan mendapatkan imbalan Rp 28 miliar (seandainva fee Gayus Ca 10% kemungklnan bisa lebih dari 10%).
Dapat dipastikan, negara rugi luar biasa. Itu hanya seorang “Gayus”, ada berapa “Gayus” di seluruh Indonesia? Tidak dapat dibayangkan berapa kerugian negara seandainya ada beratus-ratus Gayus yang bekerja di Kantor Pajak. Padahal pajak merupakan pendapatan utama bagi negara. Jadi tanda tangan seorang pejabat sedemikian mahalnya, tentunya harga mahal tersebut oleh WP dimasukkan dalam harga barang yang dijual, sehingga konsumenlah yang secara tidak langsung akan memikul beban "suap" tersebut karena harga harang menjadi lebih mahal dibandingkan jika WP tidak menyuap.
Gaji Pejabat
Pada umumnya, orang selalu menggabungkan tumbuh suburnya korupsi dikarenakan gaji pejabat yang rendah, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang prosedur yang berliku-liku dan sebagainya. Padahal anggapan ini tidak selalu benar, karena ada pejabat yang gaji sudah tinggi dengan banyak fasilitas yang dimiliki, tetapi karena ada sifat serakah, akibatnya juga masih melakukan tindakan korupsi, bahkan nilainya tidak tanggung-tanggung. Hal ini sependapat dengan Guy J Pauker yang mengatakan:
Although corruption is widespread in Indonesia as a meant af supplementing excessively low government salaries, the resources of the nation are not being used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and to some extent, for welfare".
Konsep Keadilan
Jadi gaji tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau ditinjau dari rasa keadilan, pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, menuju kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan. Konsep keadilan dipahami dengan istilah yang sepadan "fairness, non a discrimination, equality”.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, dengan pemungutan pajak, menciptakan rasa ketidakadilan. Misalnya orang kaya yang kekayaan dan kemampuannya bertambah terus, tapi pembayaran pajak ke kas negara cenderung turun dari tahun ke tahun, peranannya dalam pembayaran pajak menjadi kecil, sedangkan orang tidak kaya yang riil mendapat bagian lebih kecil memberi kontribusi yang semakin besar. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan.
Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pegawai pajak dan wajib pajak, melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemungutan dan pembayaran pajak.
Diharapkan untuk masa-masa yang akan datang, tidak ada lagi Gayus-Gayus yang lain untuk mengkorup uang negara.
Korupsi sangat memengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia, maka korupsi benar-benar harus ditangani secara serius atau diberantas secara tuntas, agar perekonomian tidak hancur, tidak terperosok dalam keterpurukan. Gunnar Myrdal mengatakan:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenal kurang tumhuhnya pasar nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang pada waktu yang bersamaan, kesatuan Negara bertambah lemah, turunnya martabat Pemerintah, tendensi-tendensi ini membahayakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi.
Strategi Pemberantasan
Indonesia perlu memiliki strategi pemberantasan korupsi yang andal agar membuat jera para koruptor, karena korupsi akan mengacaukan pembangunan negara, bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan kebocoran.
Dampak korupsi uang pajak sangat besar bagi perekonomian Indonesia, antara lain:
(1) Pertumbuhan ekonomi terhambat, karena tidak tercipta harmonisasi antara keuntungan swasta dan kepentingan publik. Pengusaha yang juga sebagai WP hanya memikirkan pada keamanan dan kenyamanan sendiri, hanya keuntungan sendiri. WP dituntun oleh. tangan yang tidak kelihatan untuk bekerja demi suatu tujuan pribadi tanpa memikirkan negara:
(2) Harga barang atau jasa semakin tinggi atau dinaikkan, karena pungutan pajak liar dan tidak resmi (suap), sehingga pengusaha 1 WP mematok harga barang atau jasa sangat tinggi, akibatnya omzet penjualan turun, kurang pembeli, perekonornian lesu
Jadi sebaiknya, Pemerintah tidak hanya melakukan tindakan pengawasan saja terhadap para koruptor, melainkan meninjau kembali gaji pegawai, menaikan moral pegawai tinggi, segala bentuk pungutan liar harus dihindari dengan membuat peraturan yang resmi menjadi pendapatan resmi atau legal, sehingga sudah tidak ada lagi pungutan liar ataupun suap.
* Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum, adalah staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)
Dalam kasus-kasus suap, sebenarnya sudah ada yang menagani yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana telah diatur dalam UU No. 30/2002 sebagaimana diubah dengan Perppu No. 4/2009. Bahkan sekarang ini telah terealisasi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 46/2009.
Berbicara masalah korupsi pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan menyangkut suap. Namun sebenarnya secara keseluruhan korupsi di Indonesia lebih sering sebagai masalah palitik daripada ekonomi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Clive Cray seorang ekonom memberikan komentarnya tentang korupsi, “Sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu, dan barang tertentu yang akan dibeli ini berupa keputusan. Izin atau secara lebih tegas tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran. Dan setiap kali akan terjadi "keseimbangan” karena dalam modal akonami pasar juga ada pengertian "harga diskriminasi” dalam pasaran tanda tangan pejabat. juga ada kemungkinan perhedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan golongan "ekonomi lemah”.
Dengan memahami pendapat Clive Gray tersebut_kalau dikaitkan dengan kasus Gayus, dapat ditaksirkan bahwa konspirasi antara Gayus-Wajib Pajak (WP)- Pejabat lainnya (penyidik, jaksa, hakim), yang mana WP telah menyuap sejumlah uang kepada Gayus, dan uang sogokan tersebut telah didistribusikan dengan pejabat lainnya yang terkait. maka jelas dimaksudkan untuk memperoleh imbalan atau sesuatu dari pejahat tersebut, yaitu "keinginan pembayaran pajak.
Yang mungkin seharusnya pajak yang harus dibayar oleh WP kepada negara adalah Rp 280 miliar menjadi jauh lebih ringan. dan untuk meringankan jumlah pembayaran pajak tersebut, WP telah menyuap Gayus sebagai "oknum" yang dapat mengatur milai pajak yang harus dibayar dengan mendapatkan imbalan Rp 28 miliar (seandainva fee Gayus Ca 10% kemungklnan bisa lebih dari 10%).
Dapat dipastikan, negara rugi luar biasa. Itu hanya seorang “Gayus”, ada berapa “Gayus” di seluruh Indonesia? Tidak dapat dibayangkan berapa kerugian negara seandainya ada beratus-ratus Gayus yang bekerja di Kantor Pajak. Padahal pajak merupakan pendapatan utama bagi negara. Jadi tanda tangan seorang pejabat sedemikian mahalnya, tentunya harga mahal tersebut oleh WP dimasukkan dalam harga barang yang dijual, sehingga konsumenlah yang secara tidak langsung akan memikul beban "suap" tersebut karena harga harang menjadi lebih mahal dibandingkan jika WP tidak menyuap.
Gaji Pejabat
Pada umumnya, orang selalu menggabungkan tumbuh suburnya korupsi dikarenakan gaji pejabat yang rendah, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang prosedur yang berliku-liku dan sebagainya. Padahal anggapan ini tidak selalu benar, karena ada pejabat yang gaji sudah tinggi dengan banyak fasilitas yang dimiliki, tetapi karena ada sifat serakah, akibatnya juga masih melakukan tindakan korupsi, bahkan nilainya tidak tanggung-tanggung. Hal ini sependapat dengan Guy J Pauker yang mengatakan:
Although corruption is widespread in Indonesia as a meant af supplementing excessively low government salaries, the resources of the nation are not being used primarily for the accumulation of vast private fortunes, but for economic development and to some extent, for welfare".
Konsep Keadilan
Jadi gaji tinggi tidak menjamin seseorang tidak melakukan tindak pidana korupsi. Kalau ditinjau dari rasa keadilan, pemungutan pajak diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat, menuju kesejahteraan dan kemakmuran serta keadilan. Konsep keadilan dipahami dengan istilah yang sepadan "fairness, non a discrimination, equality”.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, dengan pemungutan pajak, menciptakan rasa ketidakadilan. Misalnya orang kaya yang kekayaan dan kemampuannya bertambah terus, tapi pembayaran pajak ke kas negara cenderung turun dari tahun ke tahun, peranannya dalam pembayaran pajak menjadi kecil, sedangkan orang tidak kaya yang riil mendapat bagian lebih kecil memberi kontribusi yang semakin besar. Inilah yang menimbulkan ketidakadilan.
Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pegawai pajak dan wajib pajak, melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemungutan dan pembayaran pajak.
Diharapkan untuk masa-masa yang akan datang, tidak ada lagi Gayus-Gayus yang lain untuk mengkorup uang negara.
Korupsi sangat memengaruhi keadaan perekonomian di Indonesia, maka korupsi benar-benar harus ditangani secara serius atau diberantas secara tuntas, agar perekonomian tidak hancur, tidak terperosok dalam keterpurukan. Gunnar Myrdal mengatakan:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenal kurang tumhuhnya pasar nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan masyarakat plural sedang pada waktu yang bersamaan, kesatuan Negara bertambah lemah, turunnya martabat Pemerintah, tendensi-tendensi ini membahayakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap tidak hanya dapat memperlancar prosedur administrasi, tetapi berakibat adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi.
Strategi Pemberantasan
Indonesia perlu memiliki strategi pemberantasan korupsi yang andal agar membuat jera para koruptor, karena korupsi akan mengacaukan pembangunan negara, bertambah besar volume pembangunan bertambah besar pula kemungkinan kebocoran.
Dampak korupsi uang pajak sangat besar bagi perekonomian Indonesia, antara lain:
(1) Pertumbuhan ekonomi terhambat, karena tidak tercipta harmonisasi antara keuntungan swasta dan kepentingan publik. Pengusaha yang juga sebagai WP hanya memikirkan pada keamanan dan kenyamanan sendiri, hanya keuntungan sendiri. WP dituntun oleh. tangan yang tidak kelihatan untuk bekerja demi suatu tujuan pribadi tanpa memikirkan negara:
(2) Harga barang atau jasa semakin tinggi atau dinaikkan, karena pungutan pajak liar dan tidak resmi (suap), sehingga pengusaha 1 WP mematok harga barang atau jasa sangat tinggi, akibatnya omzet penjualan turun, kurang pembeli, perekonornian lesu
Jadi sebaiknya, Pemerintah tidak hanya melakukan tindakan pengawasan saja terhadap para koruptor, melainkan meninjau kembali gaji pegawai, menaikan moral pegawai tinggi, segala bentuk pungutan liar harus dihindari dengan membuat peraturan yang resmi menjadi pendapatan resmi atau legal, sehingga sudah tidak ada lagi pungutan liar ataupun suap.
* Prof. Lanny Kusumawati, SH, MHum, adalah staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)
Jakarta -
Dalam karya-karyanya, sastrawan sudah sering memperingatkan adanya kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Tapi, peringatan itu tak pernah digubris.
Sehingga korupsi makin menggerogoti sebagian jiwa masyarakat. Setelah surat
kabar luar negeri menyiarkan kasus yang memalukan ini, barulah masalah itu
ditangani.
Demikian pernyataan Mochtar Lubis
dan Ramadhan KH yang dihubungi hari Sabtu (5/12) di Jakarta. Kedua sastrawan
terkenal yang sangat memperhatikan masalah korupsi di negeri ini, berusaha
menanggapi kembalinya uang komisi ilegal almarhum Achmad Tahir dalam keputusan
yang dibacakan oleh Hakim Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura Lai Kew Chai
hari Kamis (3/12). Pertamina berhak atas deposito sebesar 78 juta dolar AS yang
tersimpan dalam 17 account DM (Deutsche Mark).
Apa yang diungkapkan tentang
korupsi di tubuh Pertamina, sudah bertahun-tahun lalu dipublikasikan di Harian
Indonesia Raya. “Memang amat disayangkan, setelah kasus ini disiarkan media
luar negeri, baru kita mempersoalkannya. Saya seringkali memperingatkan hal
ini,” kata Mochtar Lubis dengan vokal.
Sebenarnya, kata Mochtar Lubis
lebih lanjut, apa yang diungkapkan tentang kasus korupsi yang menyangkut Achmad
Tahir itu, baru sebagian kecil saja dari korupsi yang terjadi. “Bukan hanya dia
yang melakukan korupsi. Tapi kalau mau diperiksa di departemen-departeman,
kenyataan semacam ini banyak dijumpai,” kata pengarang “Senja di Jakarta” ini
bersemangat.
Mochtar Lubis selanjutnya
menyatakan, yang sangat disayangkan, kasus korupsi yang sangat memalukan itu
justru diputuskan oleh Hakim Tinggi di Singapura. “Kalau kasus korupsi yang
memalukan ini terjadi di Jepang, sudah bisa dipastikan pelakunya akan melakukan
bunuh diri dengan harakiri. Apalagi saya baca di koran dua atau tiga triliun
uang negara telah menjadi sasaran korupsi,” lanjut Mochtar Lubis.
Tidak Peka
Tidak Peka
Menurut Mochtar Lubis, sastrawan
dengan berbagai karyanya, sudah berulangkali mengingatkan kasus-kasus korupsi
yang terjadi di Indonesia. “Tapi, kalau sebagian masyarakat tidak peka, tentu
tidak akan menghiraukan kasus-kasus korupsi yang ada di depannya,” sambung
pengarang buku “Kuli Kontrak” ini.
Dengan blak-blakan Mochtar Lubis
mengatakan, kasus korupsi terjadi tidak hanya terjadi pada Achmad Tahir saja.
“Cobalah periksa departemen-departemen, apa benar-benar bersih dan tak ada
korupsinya. Untuk mengatasi korupsi ini, memang harus diketahui bagaimana
timbulnya, siapa pelakunya dan dimana itu terjadi,” kata Mochtar Lubis.
Sedangkan Ramadhan KH mengatakan
masalah korupsi ini bukan perkara sepele. “Ada yang mengatakan komisi tiga
persen itu legal. Apa ini bisa dibenarkan?” tanya sastrawan yang baru saja
meluncurkan novelnya “Ladang Perminus” (1990).
Tapi dalam kenyataannya, kata
Ramadhan KH, komisi yang sering diterima itu tak hanya tiga persen, tapi bisa
saja sepuluh dan tiga puluh persen. “Para sastrawan kita sudah banyak sekali
mengungkapkannya dalam karya sastra. Tapi, saya tak tahu apakah mereka tidak
peka atau memang tidak menggubrisnya,” lanjut Ramadhan KH.
Ramadhan KH juga mengungkapkan
sebelum kasus Achmad Tahir diluncurkan di Singapura, sebenarnya “Ladang
Perminus” sudah terbit. “Apa yang saya ungkapkan dalam “Ladang Perminus” itu
otentik, karena bersumber dari kenyataan,” tegas Ramadhan KH.
Pengarang “Royan Revolusi” dan
“Keluarga Permana” ini selanjutnya mengatakan, kalau di mana-mana terjadi kasus
korupsi, pungli, komisi dan sebagainya, bagaimana mungkin bisa ditemui
kebenaran. “Justru di sinilah keterlibatan sastrawan dalam menyorot kasus-kasus
yang menggerogoti kebenaran itu. Betapapun juga, korupsi itu harus diberantas,”
tandas Ramadhan KH.
Keperdulian Sastrawan
Sebenarnya, sastrawan dengan
kepekaannya sudah mencium kebobrokan moral yang terjadi di sebagian masyarakat.
Itu tergambar dalam karya-karya mereka yang berupa sajak, artikel kebudayaan,
cerpen dan novel. Di antara nama-nama mereka yang “rajin” mengungkapkan masalah
korupsi ini ialah Mochtar Lubis, Ramadhan KH, Rendra, Sutardji Calzoum Bachri,
Hamsad Rangkuti, F. Rahardi dan Satyagraha Hoerip.
“Saya tertarik dengan novel
Ramadhan KH “Ladang Perminus” yang menceritakan kebobrokan yang terjadi di
tubuh Peramina. Novel itu begitu otentik,” kata HB Jassin suatu hari di
rumahnya.
Penyair F. Rahardi sengaja
menerbitkan kumpulan sajak dengan judul “Catatan Harian Sang Koruptor” (1985)
yang merupakan keperduliannya pada realitas yang terjadi sekitarnya.
Dalam sajaknya “Tentang Rakyat”, F.
Rahardi menulis baris-baris sajak seperti berikut :
dan rakyat
menciptakan kesempatan
buat
pejabat korup
agar bebas
melepas cawat
dan mengumbar syahwat
menciptakan kesempatan
buat
pejabat korup
agar bebas
melepas cawat
dan mengumbar syahwat
Dalam karya sastra kontekstualisme,
lingkungan hidup masyarakat berpengaruh pada karya-karya yang diciptakan
sastrawan. “Setidaknya inilah yag memicu perdebatan tentang sastra
kontekstualisme yang dimeriahkan oleh Arief Budiman dan juga Ariel Heryanto.
Pengarang memiliki ‘keperluan’ pada realitas sosia yang terjadi di zamannya.
Dalam mengungkapkan masalah korupsi
yang terjadi di sekitarnya, sastrawan memakai berbagai gaya. Ada yang
menceritakan dengan gamblang (prosais) dalam karya berupa novel dan cerpen.
Tapi, ada pula yang menggunakan metafor-metafor tertentu, yang tujuannya tak
lain adalah mengajak pembaca berkontemplasi.
Penyair Sutardji Calzoum Bachri
dalam Horison edisi Maret 1991 menulis sajak yang berjudul “David Copperfield,
Realitis 90″. Di antara baris-baris sajak itu :
aku heran nonton pesulap
mampu mengkristalkan air
mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza
mampu mengkristalkan air
mata kita
jadi etalase indah
di berbagai plaza
aku kagum pesulap
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi pasir
yang bikin rimba
jadi emas
membuat hutan
jadi pasir
Dengan ketajaman intuisinya,
sastrawan melihat berbagai kebobrokan dalam masyarakat dengan cukup terang dan
jelas. Apalagi jika berbagai kebobrokan itu benar-benar terpampang di depan
matanya. Memang, pada akhirnya kita harus mempertanyakan, benarkah masyarakat
kita sudah tidak peka pada kasus korupsi? Atau, masalahnya, karena karya sastra
tidak mengundang minat masyarakat kita? (Ray Rizal)
Strategi Kedepan dalam Memberantas Korupsi
Ada beberapa strategi kedepan dalam memberantas korupsi
yang ditawarkan para ahli yang masing-masingnya memandang dari berbagai segi
dan pandangan. Caiden (dalam Revida, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi yaitu sebagai berikut :
1.
Membuat struktur baru, yang mendasarkan
bagaimana keputusan dibuat.
2.
Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah
masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan
wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling
bersaing dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas
diketemukan untuk mengurangi kesempatan berprilaku korup.
3.
Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi
dengan jalan meningkatkan ancaman.
4.
Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak
mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum
mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sistemik tidak
terlalu besar. Sekiranya ada suatu pembaharuan struktural, barangkali mampu
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi yaitu adanya perubahan
organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula
dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya
pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka kesempatan korupsi
harus segera ditutup. Begitu pula halnya dengan struktur organisasi haruslah
membantu kearah pencegahan korupsi. Misalnya tanggung jawab pimpinan dalam
pelaksanaan pengawasan yang melekat dengan tidak lupa meningkatkan ancaman
hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran
penaggulangan korupsi, yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk
keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan
perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas. Pengadaan pengawasan yang lebih
keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi
sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial
ekonominya diperbaiki dan lebih terjamin. Satuan-satuan pengamanan termasuk
polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang
korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat
harus ditindak pula.
Kartono (1983) menyarankan upaya penanggulangan korupsi
sebagai berikut :
1.
Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul
tanggung jawab dalam bentuk partisipasi politik dan kontrol sosial, bukan
dengan bersifat acuh tak acuh.
2.
Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu
mengutamakan kepentingan nasional.
3.
para pemimpin dan pejabat memberikan teladan,
dalam memberantas dan menindak korupsi.
4.
Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak,
memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5.
Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi
pemerintah melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan
dibawahnya.
6.
Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan
“achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7.
Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik
demi kelancaran administrasi pemerintah.
8.
Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9.
Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang
mempunyai tanggung jawab etis tinggi, yang dibarengi sistem kontrol yang
efisien.
10.
Herregistrasi
(pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok
dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdepan bahwa,
korupsi sudah mengakar bahkan ekstrimnya telah membudaya dalam masyaralat
kita. Akar tersebut telah ada semenjak zaman kerajaan, penjajahan
kolonial, zaman VOC sampai sekarang ini. Untuk itu, menurut penulis perlu
langkah atau strategi untuk mengantisipasi dan mengkikis habis di negara kita.
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi bukan hanya
sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan dan penangkapan koruptor. Upaya
pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye
peningkatan nilai-nilai moral seseorang, namun harus secara mendalam menutup
akar penyebabnya melalui :
Pertama,
negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat
secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal
ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik
secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik
secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan
kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri akan
terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab, bukan
hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga
integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua,
membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada
bagian awal tulisan ini, prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem
yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas,
maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan
sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik serta
meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga,
perlu penegakkan hukum. Di era reformasi saat ini penegakkan hukum
merupakan suatu keharusan. Harus dalam arti bahwa segala macam tindakan yang
melanggar hukum termasuk para koruptor harus mendapat ganjaran sesuai
dengan perbuatan yang ia lakukan. Meskipun banyak dari kalangan masyarakat yang
menyangsikan keberadaan keandalan penegak hukum di negara kita dapat
berjalan dengan baik, namun dalam realitanya begitu banyak kasus-kasus yang
digarap oleh para penegakkan hukum yang tidak memandang bulu siapa yang ia hakimi.
Sepatutnya kita berharap banyak kepada penegak hukum agar hukum dapat kiranya
meningkatkan segala macam usaha untuk mengikis habis koruptor tersebut. Sebab,
selama penegakkan hukum tidak tegas dan tidak berwibawa, maka selama itu
pula para koruptor tersebut tumbuh dengan cepat.
Kejujuran penegak hukum (fair trial) harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini
dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien.
Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih mampu berlaku adil, objektif
dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang
koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya
penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relatif tidak membutuhkan waktu
yang lama. Disinilah dituntut profesionalisme para penegak hukum kita, terutama
jika pemerintah memang menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Keempat,
sebelum diadakan pemilihan seorang pemimpin, mulai dari presiden,
gubernur, Bupati dan pejabat pemerintah lainnya perlu dilakukan cek
apakah ia tidak terindikasi melakukan korupsi. Pengecekkan ini diperlukan
mengingat bahwa pemimpin yang kita harapkan untuk masa depan negara ini adalah
pemimpin yang bersih dari segala tuntutan hukum termasuk korupsi. Di era
reformasi ini upaya tersebut telah dilakukan ke beberapa aparat pemerintah,
mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, yaitu dengan melaporkan segala
macam kekayaan yang dipunyai oleh para penyelengara negara tersebut. Secara
tidak langsung hal tersebut tidak terlepas dari usaha untuk mencegah serta
memonitor usaha kearah korupsi.
Kelima,
perlu penanaman moral bagi para penyelengara negara khususnya dan masyarakat
Indonesia umumnya. Penanaman moral merupakan suatu keharusan, karena
perilaku korupsi sangat terkait dengan identitas moral seseorang. Selama
moralnya baik, maka perilaku korupsi tersebut tidak akan bisa terjadi.
Begitu juga sebaliknya, ketika kita berbicara masalah moral maka tidak terlepas
dari jiwa keagamaan kita sendir, karena dalam agama terutama agama Islam
penamana moral yang baik sangat dituntut bahkan sangat diwajibkan kepada semua
umatnya.
Keenam, pendayagunaan
fungsi pegawasan adalah ikhtiar yang lebih tepat penyempurnaan pelaksanaannya.
Setelah kita menelaah gejala-gejala yang berkaitan dengan manifestasi korupsi
dalam masyarakat kita pada umumnya, dan khususnya dalam lingkungan aparatur
pemerintaha sebagai pengelola upaya pembangunan. Hal ini sangat didukung oleh
dukungan dari dalam yakni berbagai faktor yang ada dalam objek pengawasan itu
sendiri. Misalnya adanya disiplin kerja yang memenuhi segala persyaratan
manajerial, tenaga-tenaga kerja yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi
terhadap tugas-tugasnya, dan ciri-ciri lain yang dapat dianggap mempermudah
pelaksanaan tugas pengawasan. Singkatnya, tertib kerja yang ditandai oleh
disiplin tinggi pada umumnya mempermudah tugas pengawasan. Sedangkan yang
dimaksud dengan dukungan dari lingkungan luar ialah berbagai faktor yang ada di
luar objek pengawasan itu sendiri. Misal, apakah aparatur kerja pada umumnya
ditandai oleh tertib kerja dan disiplin tinggi, apakah kecerobohan tatalaksana
mengejala di mana-mana tanpa dikenai hukuman, apakah ada insentif dan
disintensif yang dikenakan terhadap tenaga kerja yang baik dan tidak baik,
apakah dedikasi dan kemampuan tinggi berpengaruh terhadap promosi seseorang.
Keseluruhan faktor ini membentuk iklim kerja yang ikut memberi pengaruh pada
satuan-satuan kerja pada umumnya.
Penanganan masalah korupsi tidak bisa dilakukan dengan
cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada
pemerintah saja, sebab cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam
artian, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri.
Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab
untuk mengawasi pengawas ?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam
konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan negara yang
egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi
pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar maupun pengawasan akan
berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Fungsi dan wewenang pengawasan inilah yang harus
ditingkatkan. Dalam keadaan mendesak sekalipun pengawasan ini dapat melakukan
tindakan korektif, sehingga tugas pengawasan dapat dijalankan dengan baik.
Mekanisme dan kemampuan pengawasan yang hendak dicapai ini banyak sedikitnya
tergantung dari sasaran akhir dari pengawasan. Idealnya pengawasan dapat
mencapai sasaran kebersihan dan kewibawaan aparatur. Dengan sasaran
“kebersihan” dimaksudkan agar mampu mengungkapkan semua penyelewengan dan
kebocoran yang terjadi jikalau ada. Sedangkan sasaran “kewibawaan”
dimaksudkan untuk mampu mengungkapkan pemborosan jikalau betul terjadi, namun
mampu pula menunjukkan secara menyakinkan bahwa dalam kegiatan yang diperikasa
sesungguhnya tidak terdapat penyimpangan, sehingga menimbulkan kepercayaan
(kredibilitas) yang merupakan unsur pokok lahirnya kewibawaan.
Lebih lanjut, usulan mendeteksi korupsi yang komplek juga
diperlukan sekaligus dan memerlukan upaya yang lebih mendalam atau pemeriksaan
yang bersifat biasa terhadap kegiatan-kegiatan bersifat relatif
sederhana. Salah satu masalah yang dihadapi adalah perilaku yang selalu merupakan
kolusi atau
persengkokolan antara paling kurang dua orang yaitu oknum yang memegang
wewenang (pejabat) dan pihak yang memerlukan pelayanan. Kedua-duanya, jikalau
telah korup, berkepentingan atas terlaksananya korupsi ; satu pihak
memerlukan imbalan sementara lain memerlukan fasilitas yang dapat memberikan
keuntungan. Keduanya juga berkepentingan dalam merahasiakan hubungan ini. Bagi
oknum pegawai negeri misalnya karena ada resiko terhadap kedudukannya.
Sedangkan bagi swasta agar hubungan dapat berlangsung terus secara
menguntungkan, di samping resiko tindakan hukuman. Berbagai upaya dilakukan
para pelaku untuk menyelubungi perbuatan korupsi sehingga terlihat sebagai
transaksi yang sah dan wajar tanpa sesuatu pelangaran. Dengan menjalankan
prosedur-prosedur semu yang lengkap sesuai aturan dan mempersiapkan bukti-bukti
yang kelihatan benar dan otentik.
Penutup
Perilaku korupsi ada apabila seseorang secara tidak halal
meletakkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan rakyat beserta cita-cita
yang menurut sumpah akan dilayaninya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk dan
membentang dari soal sepele sampai soal yang amat besar. Korupsi dapat
menyangkut penyalahgunaan instrumen instrumen kebijakan, tarif dan kredit,
sistem irigasi dan kebijakan perubahan, penegakan hukum dan peraturan
menyangkut keamanan umum, pelaksanaan kontrak dan pengembalian pinjaman atau
bisa juga menyangkut prosedur prosedur sederhana. Korupsi dapat terjadi di
sektor swasta maupun di sektor pemerintah dan bahkan terjadi sekaligus
terhadap keduanya. Prilaku korupsi itu bisa jarang atau bisa meluas. Disejumlah
negara berkembang korupsi telah meresap dalam sistem.
Jadi berkenaan dengan pertanyaan, mungkinkah korupsi
bisa dikikis habis di negara kita ini, maka jawabnya adalah bisa. Bisa dalam
arti bahwa yang namanya korupsi hanya sebuah perbuatan yang dilakukan
dengan mengambil sesuatu tanpa ada milik seseorang yang terzalimi,
apakah dalam bentuk uang atau barang. Oleh karena hal tersebut berkenaan
sebuah perbuatan maka bisa saja dicegah serta tidak dilakukan sama sekali.
Tetapi untuk melaksanakan hal tersebut perlu kiranya suatu terobosan serta jiwa
yang bersih, sekaligus tanpa adanya paksaan oleh sesuatu pun.
Sesungguhnya perilaku korupsi bisa dikikis habis dari bumi
Indonesia, tapi dengan catatan semua elemen masyarakat mempunyai niat yang sama
bahwa, korupsi tidak dilakukan lagi. Di samping itu, perlu kiranya
pengawasan yang ketat dalam hal pengelolaan keuangan terutama keuangan negara,
karena selama pengawasan kurang maka ketika itu pula ia akan merajalela di
Indonesia.
Mengikis praktik korupsi memerlukan kerjasama segala
elemen dalam masyarakat di negara kita dalam mengikis hal tersebut, karena
kerjasama (sekali lagi mungkin) akan dapat mengikis habis praktek korupsi di
negara kita. Oleh karena itu, apa yang telah terjadi dimasa lalu tidak akan
terulang lagi, dan tak salah orang bijak berkata “belajar sejarah merupakan
satu hal yang baik, terutama untuk dapat melihat masa depan yang lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar