Jumat, 13 April 2012

Aspek Hukum Pidana Dalam Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan

Latar Belakang
Dalam melaksanakan pemeriksaan hingga penyusunan laporan hasil pemeriksaan (LHP), BPK –terutama pemeriksa- bersentuhan langsung dengan berbagai macam aspek hukum, salah satunya adalah aspek hukum pidana.
Untuk lebih memahami dan mengetahui mengenai aspek hukum pidana apa saja yang perlu diperhatikan terutama dalam penyusunan LHP, pemeriksa diharapkan dapat mengetahui mengenai aspek hukum pidana dalam penyusunan LHP. Dengan memahami mengenai hal tersebut, diharapkan LHP BPK tidak lagi disalahgunakan dan juga dapat menghindari adanya tuntuan secara pidana.
Permasalahan
Apa saja yang perlu diperhatikan oleh BPK dalam penyusunan LHP dipandang dari aspek hukum pidana?
Penyusunan LHP dan Aspek Hukum Pidananya
Definisi Hukum Pidana
Definisi Hukum Pidana menurut beberapa ahli adalah :
APELDOORN (1952: 251 – 260), menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan :
Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu :
Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggaranya.
Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk dipertanggung jawabkan menurut hukum.
Hukum pidana formil yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.
D. HAZEWINKEL-SURINGA, (1968: 1), membagi hukum pidana dalam arti:
Objektif (ius poenale), yang meliputi:
Perintah dan larangan yang pelanggaranya diancam dengan sansi pidana oleh badan yang berhak.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.
Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak Negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
Dari pengertian hukum pidana tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membawa akibat diterapkannya hukuman (pidana) bagi mereka yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan dimaksud.
BPK: Subyek Hukum Pidana?
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal orang-perseorangan (Persoon) sebagai subjek hukum pidana. Badan hukum (publik dan privat) dalam KUHP tidak dipandang sebagai subjek hukum pidana. Jika kita merujuk pada KUHP, maka BPK selaku badan hukum publik tidak dapat dituntut secara pidana. Dengan demikian, yang dapat dituntut secara pidana menurut KUHP dalam hal proses penyusunan LHP adalah pegawai BPK -Pemeriksa- secara orang perorangan.
Namun dalam perkembangannya, korporasi telah dianggap sebagai subyek hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a    UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah diubah dengan UU no 25 Tahun 2003;
b    Perpu No 1 Thn 2002 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi UU No 15 Tahun 2003;
c    UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Selain yang terdapat dalam UU yang tersebut, dalam Rancangan KUHP korporasi yaitu dalam Pasal 47 yang menyatakan bahwa korporasi merupakan subyek tindak pidana. Dengan demikian tidak hanya pemeriksa saja yang dapat dituntut secara pidana, melainkan juga BPK selaku badan hukum publik juga dapat dituntut di muka pengadilan secara pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan selain KUHP.
Penyusunan LHP dan Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana dikenal dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict. Yang dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif.
Syarat yang harus dipenuhi (baik perbuatan yang memenuhi unsur obyektif ataupun subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
Harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Dimana benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai peristiwa.
Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.
Perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku. Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggung jawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggung jawabkan.
Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan.
Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.
Harus tersedia ancaman hukumannya.
Adanya ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu dan ketentuan tersebut memuat sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman tersebut dinyatakan secara tegas maksimal hukuman yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya.
Syarat suatu perbuatan adalah perbuatan pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas. Dengan demikian maka apabila dalam penyusunan LHP, BPK tidak mematuhi atau telah bertentangan dengan hukum, maka BPK telah memenuhi salah satu syarat untuk dapat dianggap telah melakukan suatu perbuatan pidana. Pertanyaan selanjutnya adalah perbuatan yang mana yang melanggar hukum atau norma pidana? Oleh karena itu, agar BPK tetap pada koridor hukum, perlu diketahui mengenai perbuatan pidana mana saja yang dapat dituntutkan kepada BPK sebagai suatu langkah preventif.
Untuk menghindari adanya tindak pidana dalam penyusunan LHP, BPK –dalam hal ini terutama auditor- diharuskan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, BPK dengan sendirinya terhindar dari tindak pidana yang dapat menjeratnya, kecuali untuk delik aduan.
Namun, selain harus mematuhi peraturan perundangan yang berlaku, Pemeriksa diharapkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya di lapangan tetap memperhatikan hukum adat yang berlaku dimana BPK melakukan pemeriksaan. Walaupun secara hukum tertulis perbuatan yang dilakukan oleh BPK tersebut tidak termasuk pidana, namun jika secara hukum adat perbuatan dimaksud adalah tindak pidana, maka auditor BPK tersbut dapat dikenakan pidana. Sehingga, dalam pelaksanaan tugas, auditor diharuskan untuk tetap memperhatikan hukum adat yang masih hidup di tempat ia melaksanakan tugas.




Alasan Penghapusan Pidana
Di dalam Hukum Pidana dikenal adanya penghapusan pidana. Penghapusan pidana adalah hapusnya suatu pidana dikarenakan alasan-alasan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Alasan penghapusan pidana adalah :
Alasan Pemaaf
Dasar penghapus berdasar alasan pemaaf melihat dari sisi pelakunya (subyektif). Pada alasan pemaaf, maka suatu tindakan tetap melawan hukum, tetapi terdapat hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya.
Tidak dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 44 KUHP)
Daya paksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan jiwa yang hebat (noodweer exces) (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pemaaf menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dianggap pidana dan dimaafkan jika ia melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang. Pemeriksa dalam melaksanakan tugas di lapangan adalah bagian dari pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang.
Alasan Pembenar
Dasar penghapus berdasakan alasan pembenar melihat dari sisi perbuatannya (obyektif). Pada alasan pembenar, suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/diperbolehkan dan pelakunya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana.
Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50 KUHP)
Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum, yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) (Pasal 49 ayat (1) KUHP)
Penghapusan pidana berdasarkan alasan pembenar menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dianggap tindak pidana jika ia melaksanakan ketentuan undang-undang. Untuk menghindari tindakan pidana, auditor dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.



Kemungkinan Tuntutan Pidana atas Dasar Pencemaran Nama Baik
Kemungkinan adanya tuntutan atas dasar pencemaran nama baik atau penghinaan dapat muncul dari ketentuan yang terdapat baik dalam KUHP maupun UU Penyiaran dan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
KUHP
Dalam KUHP pencemaran nama baik diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang. Pengaturan mengenai penghinaan/penistaan pada KUHP adalah sebagai berikut :
Pasal 310
Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4.500,-.
Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.



Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

Jika diuraikan unsur-unsur dalam perbuatan pidana penghinaan berdasarkan Pasal 310 ayat (1) jo. ayat (2) KUHP adalah sebagai berikut:
penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu;
bermaksud agar tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak);
tuduhan tersebut harus dilakukan dengan lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP); dan apabila tuduhan dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan surat (secara tertulis)” (Pasal 310 ayat (2) KUHP)
Dengan melihat sifat tertulis LHP BPK, maka perbuatan pidana yang kemungkinan dapat dituntutkan kepada BPK adalah perbuatan pidana penghinaan dengan tertulis sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (2) KUHP. KUHP yang berlaku saat ini memang hanya mengenal person perseorangan saja sebagai subyek hukum, sehingga tidak termasuk BPK. Namun demikian, mengingat dalam Rancangan KUHP subyek hukum pidana termasuk badan hukum publik, maka tidak ada salahnya apabila BPK perlu memperhatikan norma-norma penghinaan dalam KUHP dan mengambil langkah preventif dengan jalan menghindari penulisan dalam LHP yang dapat memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana penghinaan.
Perbuatan pidana penghinaan merupakan suatu delik aduan, sehingga hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari orang yang menderita/terhina/ternista. Kita tidak dapat membatasi hak sesorang untuk melakukan aduan apabila merasa nama baiknya tercemar, karena hal itu juga merupakan Hak Azasi Manusia.
Selain memuat norma suatu perbuatan pidana, KUHP juga memuat pengecualian, termasuk untuk perbuatan pidana penghinaan, yaitu dalam Pasal 310 ayat (3) KUHP. Dalam Pasal 310 ayat (3) tersebut dinyatakan bahwa tidak termasuk perbuatan penghinaan apabila:
tuduhan atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum”; atau
karena terpaksa untuk “membela diri”.
Dalam komentar KUHP, dijelaskan bahwa untuk membela kepentingan umum misalnya menunjukkan kekeliruan dan kelalaian yang nyata-nyata merugikan atau membahayakan umum. Berbicara mengenai LHP BPK, tentu jelas arahnya pada upaya penyelamatan keuangan negara, yang artinya terdapat kepentingan umum yang lebih besar. Namun demikian, untuk menentukan suatu perbuatan penghinaan atau tuduhan dilakukan untuk membela kepentingan umum atau tidak adalah tergantung pada pertimbangan Hakim.
Pertimbangan Hakim tersebut tidak semata-mata tanpa memberikan kesempatan untuk pembuktian terlebih dahulu, karena hal ini dimungkinkan oleh KUHP. Apabila terdapat tuntutan pidana penghinaan kepada BPK sebagai dampak penulisan dalam LHP BPK, maka berdasarkan Pasal 311 ayat (1) KUHP, BPK dapat membuktikan apa yang dituduhkan, kemudian hakim akan mempertimbangkan apakah perbuatan tersebut untuk kepentingan umum. Selain untuk kepentingan umum, perbuatan pengungkapan dalam LHP BPK dilakukan adalah untuk menjalankan amanat undang-undang dalam rangka menjalankan pekerjaannya, sehingga oleh KUHP diberikan pula kesempatan untuk membuktikan tuduhan tersebut. Dengan demikian maka pembuktian merupakan hal yang penting untuk membela diri dalam menghadapi tuntutan pidana penghinaan. Pembuktian di muka pengadilan tersebut adalah untuk membuktikan apakah tuduhan tersebut adalah kebenaran (fakta), dilakukan untuk kepentingan umum atau mempertahankan dirinya sendiri atau melakukan perbuatan dalam menjalankan perkerjaannya (jabatannnya).
Mengingat pentingnya pembuktian dalam perbuatan pidana penghinaan, maka perlu diketahui mengenai alat bukti yang sah menurut hukum pidana. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 184, bahwa alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk; dan
keterangan terdakwa.
LHP BPK merupakan hasil pemeriksaan atau audit yang tentu saja juga dihasilkan berdasarkan bukti-bukti audit. Dengan adanya kesempatan pembuktian, maka hendaknya sebagai langkah preventif, dalam melakukan audit, Pemeriksa hendaknya selalu mendasarkan pada bukti-bukti audit yang cukup, dengan tentunya mempertimbangkan jenis alat bukti menurut hukum pidana.
UU Penyiaran dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Selain KUHP, perbuatan pidana penghinaan atau pencemaran nama baik diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU 32/2002 Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa :
“Isi siaran dilarang :
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

Dari ketentuan UU 32/2002, maka LHP BPK sebagai salah satu bentuk siaran (khusus untuk LHP yang diterbitkan dalam website) tidak boleh memuat sesuatu yang sifatnya fitnah/menuduh tanpa bukti, menghasut dan menyesatkan atau bohong. Artinya, muatan dalam LHP BPK haruslah sesuatu yang didukung oleh bukti yang kuat.
Kemudian dalam UU No. 11 Tahun 2008, Pasal 27 ayat (3) yang menyebutkan :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Berbeda dengan KUHP, UU ITE mengakui badan hukum selaku subyek hukum. Dalam UU ITE tersebut diatur mengenai pendistribusian dan/atau pentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Jika dicermati ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, BPK selaku badan hukum tidak dapat dituntut pidana berdasarkan Pasal 27 ayat (3) tersebut, karena :
Unsur dalam Pasal 27 ayat (3)  adalah bahwa pendistribusian dokumen elektronik yang mengandung muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dilakukan dengan sengaja. LHP BPK yang dimuat dalam website merupakan produk BPK yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan. BPK merupakan suatu badan hukum, yang mana suatu Badan Hukum tidak memiliki SIFAT kesengajaan, karena kesengajaan hanya dimiliki oleh perseorangan (persoon).
Pendistribusian LHP oleh BPK tidak pula dilakukan tanpa hak, bahkan merupakan kewajiban BPK berdasarkan amanat UUD dan UU 15/2004.
Implikasi Pidana dari Pencantuman Nama dalam LHP
Tidak ditemukan adanya larangan untuk mencantumkan nama dalam peraturan perundang-undangan, maka dari itu pemeriksa BPK dalam melakukan penyusunan LHP diperbolehkan mencantumkan nama, sebagai bagian dari pengungkapan fakta yang nyata dan sebenar-benarnya dalam LHP BPK yang dihasilkan dalam rangka menjalankan amanat dari UU. Namun demikian, pencantuman nama dalam LHP dimaksud dilakukan hanya setelah pemeriksa memiliki bukti yang cukup dan memadai, dan pemeriksa dapat membuktikan pernyataannya dalam LHP tersebut.
Walaupun pencantuman nama tidak dilarang, dan juga merupakan bagian dari pengungkapan fakta, tidak menghilangkan hak asasi orang lain untuk melakukan penuntutan secara pidana jika merasa nama baik dan kehormatannya dirusak dengan pencantuman namanya dalam LHP BPK.
Untuk mengurangi resiko adanya penuntutan atas pencemaran nama baik, pemeriksa dalam menyusun LHP dapat mengganti nama orang dengan nama jabatan dari si pemilik nama tersebut, misal “Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten A”, meskipun tetap saja dapat ditelusuri siapa pemilik jabatan tersebut.
Tuntutan Pidana atas Dasar Perbuatan Tidak Menyenangkan : Muncul Dalam Proses Pemeriksaan
Suatu resiko adanya tuntutan pidana dari pihak lain kepada BPK, tidak hanya dapat muncul karena muatan yang terdapat dalam LHP, namun juga dalam pemeriksaan. Resiko tuntutan pidana yang dapat muncul adalah tuntutan pidana perbuatan tidak menyenangkan. Perbuatan tidak menyenangkan diatur dalam Pasal 335 KUHP.
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1.    barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
2.    barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.
Suatu perbuatan dianggap suatu perbuatan tidak menyenangkan apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.
Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasaan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu maupun orang lain.
Perbuatan tidak menyenangkan tidak terkait langsung dengan penyusunan LHP, namun dapat terjadi pada saat pelaksanaan pemeriksaan. Contoh atas kejadian yang dapat dikenakan pasal ini misalnya dalam permintaan data atau dokumen, dilakukan dengan memaksa atau mengancam. Contoh lainnya, melakukan perekaman dengan tanpa izin.




Penutup
Kesimpulan
Perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dapat dikenakan hukuman pidana. Untuk menghindari melakukan perbuatan pidana, BPK dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan mematuhi peraturan yang berlaku.
Dalam hukum pidana dikenal adanya alasan penghapus pidana, salah satu alasannya adalah pelaksanaan ketentuan UU dan pelaksanaan perintah jabatan yang diberikan penguasa. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemeriksa terhindar dari tuntutan pidana selama ia mematuhi ketentuan UU dan melaksanakan perintah jabatan.
KUHPidana hanya mengenal orang-perorangan sebagai subyek hukum. Dalam perkembangannya, korporasi (badan hukum) masuk kedalam subyek pidana, pengaturan mengenai hal ini dapat dijumpai salah satunya pada UU ITE. Berbeda dengan KUHP, pada UU ITE diatur bahwa korporasi (badan hukum) dapat melakukan perbuatan pidana, termasuk pencemaran nama baik. Namun, BPK sebagai badan hukum tidak memiliki kesengajaan seperti yang disyaratkan dalam UU tersebut.
Penghinaan dalam KUHP adalah menuduh seseorang baik secara lisan maupun tulisan dengan suatu perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan tersebut tersebar. Penghinaan dimaksud termasuk kedalam delik aduan, sehingga merupakan hak setiap orang. Oleh karena itu, BPK tidak bisa mencegah adanya aduan tersebut.
Dalam hal BPK dituntut atas perbuatan pidana penghinaan/penistaan, Hakim memberikan kesempatan kepada BPK untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut adalah untuk kepentingan umum dan merupakan suatu kebenaran. Oleh karena itu, BPK dalam pencantuman fakta dalam LHP harus memiliki landasan bukti yang kuat. 
Dalam pemeriksaan, bukti-bukti audit yang diperoleh harus dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang diakui menurut KUHAP dan merupakan alat bukti yang cukup dalam persidangan.
Saran
a    Untuk menghindari adanya penuntutan secara pidana atas pencemaran nama baik, BPK dapat mencantumkan jabatan sebagai pengganti nama. Pencantuman nama dalam LHP memang bukan suatu tindak pidana karena ia merupakan pelaksanaan ketentuan peraturan perundangan dan bukan merupakan tuduhan namun fakta. Secara substansi pencantuman jabatan tidak berbeda dengan pencantuman nama, karena tetap saja dapat ditelusuri siapakah pemilik jabatan tersebut.
b    Dalam pelaksanaan pemeriksaan, untuk menghindari tuntutan pidana misalnya Perbuatan tidak menyenangkan, pemeriksa melaksanakan pemeriksaan sesuai peraturan dan standar pemeriksaan yang berlaku. Misal, melakukan perekaman dengan sepengetahuan narasumber.
c    Dalam penyusunan LHP, setiap fakta yang diungkapkan harus disertai dengan bukti yang cukup dan merupakan alat bukti yang diakui oleh KUHAP.

0 komentar:

Posting Komentar